IKOLOM.NEWS, NASIONAL – Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof. Fathul Wahid, menegaskan bahwa perguruan tinggi tidak seharusnya terlibat dalam pengelolaan bisnis pertambangan, karena itu bukan merupakan ranah mereka.
Pernyataan ini disampaikan oleh Fathul di Yogyakarta pada Selasa (21/1/2025), sebagai respons atas usulan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI yang membuka peluang bagi perguruan tinggi untuk terlibat dalam pengelolaan lahan tambang. Menurutnya, keterlibatan universitas dalam pengelolaan tambang tidak sesuai dengan fungsi utama institusi pendidikan tinggi.
“Kalau saya ditanya, UII ditanya, jawabannya termasuk yang tidak setuju, karena kampus wilayahnya tidak di situ,” ujar Fathul, dikutip dari Antara.
Meskipun beberapa perguruan tinggi di Indonesia memang memiliki program pendidikan yang bertujuan mencetak ahli di bidang pertambangan, Fathul mengingatkan bahwa tugas perguruan tinggi tetap berfokus pada tiga misi utama: pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Fathul juga menyatakan bahwa pengelolaan hilirisasi sektor pertambangan sebaiknya diserahkan kepada pihak-pihak yang lebih berpengalaman dan kompeten.
Ia mengkhawatirkan bahwa keterlibatan kampus dalam bisnis tambang berpotensi membawa dampak negatif, terutama terkait kerusakan lingkungan dan hilangnya sensitivitas moral.
“Saya khawatir ketika kampus masuk di sana, itu bisa kehilangan sensitifitas terhadap isu lingkungan karena logika bisnis yang dominan,” ujar Fathul.
Pernyataan ini merujuk pada laporan-laporan lembaga independen yang menunjukkan dampak signifikan aktivitas pertambangan terhadap kerusakan lingkungan.
Sebelumnya, Baleg DPR RI mengusulkan perubahan pada UU Minerba dengan menambahkan Pasal 51A, yang memungkinkan perguruan tinggi memperoleh wilayah izin usaha pertambangan (WIUP).
Ketua Baleg, Bob Hasan, menjelaskan bahwa rancangan undang-undang tersebut memberikan prioritas kepada perguruan tinggi dengan akreditasi minimal B untuk mengelola tambang, serupa dengan prioritas yang diusulkan bagi organisasi masyarakat keagamaan.
Pembahasan ini muncul dalam konteks revisi ketiga atas UU No. 4/2009 tentang Mineral dan Batubara.