Oleh : Andi Sri Wulandani Thamrin
Ia merupakan alumni Ilmu Hubungan Internasional FISIPOL UNHAS dan Magister Gender dan Pembangunan PASCASARJANA UNHAS. Lahir 30 Juni 1982. Mantan Ketua KOHATI Cabang Makassar Timur dan saat ini menjabat Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Anak PW Pemuda ICMI Sulsel. Aktif di beberapa organisasi kepemudaan, organisasi sosial dan keagamaan serta komunitas perempuan. Saat ini aktif menjalankan riset pada Lembaga Kerja Penelitian Publik, Lembaga yang ia dirikan.
IKOLOM.NEWS, OPINI – Membincang gender selalu menjadi topik yang menarik untuk dikaji, bukan karena pembahasannya identik dengan perempuan, namun karena seringkali ada kontroversi mengenai wacana ini. Para pembaharu menginginkan emansipasi dan perubahan sedangkan para fundamentalis dan konservatif menginginkan status quo.
Selama dalam perjalanan perjuangannya, gender kerap didebat oleh para pemikir konservatif yang mempertanyakan soal ”fitrah” dan “konstruksi sosial”.
Perdebatan soal apakah feminin dan maskulin adalah sesuatu yang given (fitrah) atau buatan sosial (konstruksi) dan pertanyaan apakah sifat feminin jauh lebih unggul dari maskulin atau sebaliknya adalah tematema yang menghiasi ruang-ruang diskusi bertema gender.
Meletakkan posisi perempuan pada tempatnya dan laki-laki pada tempatnya adalah solusi ringkas penganut konservatif. Sesungguhnya bukan tanpa sejarah sehingga wacana gender ini berkembang.
Meskipun lahirnya gender berasal dari Amerika Serikat dan Eropa dengan diawali sebuah gerakan menuntut hak politik perempuan, namun pengaruh positif wacana ini sangat dirasakan di negara Indonesia.
Munculnya kesadaran warga perempuan Indonesia akan hak-hak politiknya, menyatakan pendapatnya di depan umum, keinginan mengakses dunia pendidikan yang setara dengan laki-laki, bahkan keberanian menyuarakan penindasan dalam rumah tangga adalah buah dari arus besar wacana gender.
Bahkan lahirnya Undang-Undang keterwakilan perempuan dalam parlemen maupun pemerintahan dan Undang-Undang mengenai kekerasan dalam rumah tangga adalah buah positif dari wacana gender.
Terbaru adalah lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang menjadi hantu bagi para predator kejahatan seksual.
Sebagai alat analisis sosial, gender telah berani mempertanyakan pola relasi sosial dan membongkar kepakeman yang ada dalam masyarakat, bukan hanya relasi laki-laki dan perempuan namun juga relasi negara terhadap perempuan.
Diskriminasi, subordinasi, stereotype, bahkan prostitusi adalah bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang terjadi dalam masyarakat yang ingin segera diakhiri oleh bukan hanya para feminis namun juga oleh mereka para aktivis yang ingin melihat tatanan masyarakat berkeadilan.
Para feminis yang berjuang menggunakan perspektif berbeda-beda karena tiap kondisi memiliki penanganan yang berbeda. Membahas pengalaman ketidakadilan terhadap perempuan di negara maju tentu berbeda dengan yang dirasakan perempuan di negara berkembang atau terdapat perbedaan antara pengalaman ketidakadilan perempuan kulit putih dengan yang dirasakan perempuan kulit hitam yang mendasari lahirnya black feminism.
Dikarenakan perempuan memiliki pengalaman yang berbeda-beda menyangkut soal ketertindasan, maka tidak ada paradigma tunggal tentang feminisme menurut pernyataan Kamla Bashin dan Nighat Said Khan, para feminis Asia Selatan.
Secara umum, feminisme mengajak untuk mewujudkan keadilan bukan hanya bagi perempuan namun juga bagi masyarakat secara umum. Semangat gender telah memberi kejutan positif di dalam kenyataan sosial yang cenderung pahit dan semangat itu tidak boleh surut.
Tiap perspektif di dalam gerakan perempuan memiliki kontribusi terhadap perubahan sosial. Baik itu marxis, radikal, liberal, sosialis serta perspektif lainnya. Apapun alirannya, gerakan perempuan telah membangkitkan perjuangan agar perempuan tidak lagi tertinggal beberapa langkah dalam kehidupan sosial bermasyarakat dan kesadaran untuk maju dapat tumbuh secara berkelanjutan.