Pelantikan Kepala Daerah dan Revisi UU Minerba: Sentralisasi Kewenangan yang Mengikis Otonomi Daerah

Pelantikan Kepala Daerah dan Revisi UU Minerba: Sentralisasi Kewenangan yang Mengikis Otonomi Daerah. (Foto: Ist)

IKOLOM.NEWS, NASIONAL – Pelantikan kepala daerah dan revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang berlangsung hampir bersamaan menunjukkan fenomena yang saling berkaitan.

Pada 20 Februari 2025, sebanyak 961 kepala daerah dan wakil kepala daerah resmi dilantik dalam sebuah acara yang terpusat di Jakarta. Sementara itu, pada 18 Februari 2025, revisi UU Minerba telah disahkan, yang menimbulkan dampak besar bagi kewenangan daerah dalam pengelolaan sumber daya alam.

BACA JUGA: BREAKING NEWS: Setelah STY, PSSI Resmi Pecat Indra Sjafri sebagai Pelatih Timnas U-20

Menurut Peneliti Pusat Riset Hukum Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sekaligus Ketua Umum Pemuda ICMI, Ismail Rumadan, dua peristiwa ini mencerminkan semakin kuatnya sentralisasi kewenangan pemerintah pusat. Pelantikan kepala daerah secara serentak di Jakarta menandakan kontrol yang lebih besar dari pusat terhadap daerah, sementara revisi UU Minerba mengurangi kewenangan kepala daerah dalam menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP).

“Di satu sisi, kepala daerah mendapat mandat dari rakyat untuk memimpin daerahnya, tetapi di sisi lain kewenangan mereka justru dikurangi dalam sektor yang sangat strategis bagi pembangunan daerah,” ujar Ismail.

Ia menambahkan bahwa sentralisasi kewenangan ini bertentangan dengan semangat reformasi 1998, yang menuntut desentralisasi dan pemberian hak lebih besar kepada daerah dalam mengelola pemerintahan dan sumber dayanya sendiri. Ismail menyoroti bahwa revisi UU Minerba, khususnya Pasal 4 ayat (2), semakin menegaskan dominasi pusat dalam pengelolaan mineral dan batu bara. Akibatnya, kepala daerah kehilangan instrumen penting dalam menentukan kebijakan yang berdampak langsung terhadap kesejahteraan rakyat di wilayahnya.

Kebijakan ini berpotensi memperburuk ketimpangan ekonomi dan kesejahteraan. Keuntungan dari eksploitasi sumber daya alam lebih banyak mengalir ke pusat dan korporasi besar, sementara masyarakat lokal justru menghadapi dampak negatif seperti penggusuran, degradasi lingkungan, dan minimnya peluang kerja. Dana Bagi Hasil (DBH) yang diharapkan menjadi kompensasi bagi daerah sering kali tidak sebanding dengan kontribusi mereka terhadap perekonomian nasional.

Selain itu, dengan hilangnya kewenangan daerah dalam mengelola sumber daya alam, pengawasan terhadap dampak lingkungan menjadi semakin lemah. Daerah tidak lagi memiliki kontrol terhadap izin pertambangan, sehingga perusahaan cenderung lebih fokus pada eksploitasi tanpa memperhatikan pemulihan lingkungan. Hal ini memperparah kerusakan lingkungan yang sulit terawasi, sebagaimana dikeluhkan oleh mantan Gubernur Kalimantan Timur terkait perubahan UU Minerba No. 4 Tahun 2009.

Dampak lainnya adalah meningkatnya konflik sosial dan sengketa lahan. Keputusan yang diambil di tingkat pusat sering kali tidak mempertimbangkan kondisi sosial dan budaya lokal, memicu perlawanan dari masyarakat yang terdampak langsung oleh proyek pertambangan. Masyarakat adat dan kelompok lokal menjadi pihak yang paling dirugikan, karena izin tambang diberikan tanpa melibatkan mereka, mengakibatkan semakin banyaknya kasus penggusuran dan perampasan lahan.

Lebih jauh, hilangnya kewenangan daerah juga melemahkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya alam. Sentralisasi perizinan menciptakan peluang bagi praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang di tingkat pusat, karena keputusan berada di tangan segelintir pejabat yang memiliki kendali penuh atas izin usaha pertambangan.

Ismail menegaskan bahwa jika tren ini terus berlanjut, pemerintahan daerah hanya akan berfungsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat, tanpa memiliki kewenangan yang benar-benar otonom. Ia berharap kepala daerah yang baru dilantik dapat tetap berpihak kepada rakyat dan tidak sekadar menjadi administrator tanpa daya kritis terhadap kebijakan pusat.

“Kepala daerah harus membangun strategi yang cerdas dalam memperjuangkan kepentingan daerahnya, baik melalui diplomasi politik, penguatan regulasi lokal, maupun membangun solidaritas dengan daerah lain yang menghadapi permasalahan serupa. Jika mereka kehilangan daya kritis dan hanya menjadi perpanjangan tangan pusat, maka semangat otonomi daerah yang diamanatkan oleh konstitusi akan semakin pudar,” tegasnya.

Dengan demikian, untuk memastikan keadilan dalam pengelolaan sumber daya alam, pemerintah pusat perlu memberikan porsi lebih besar dalam bagi hasil sumber daya alam kepada daerah, melibatkan pemerintah daerah dalam pengambilan keputusan, serta memastikan transparansi dan keberlanjutan dalam pengelolaan sumber daya alam. Hanya dengan langkah-langkah tersebut, kesejahteraan daerah dapat benar-benar terwujud.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *