IKOLOM.NEWS, NASIONAL – Nilai tukar rupiah mengalami tekanan berat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) hanya beberapa hari menjelang Lebaran. Dolar AS bahkan sempat menyentuh level Rp16.640, menjadikannya yang terburuk sepanjang sejarah.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas Bank Indonesia (BI), Edi Susianto, menjelaskan bahwa pelemahan ini terjadi akibat penguatan dolar AS yang menekan banyak mata uang Asia, termasuk rupiah.
“Beberapa mata uang Asia mengalami pelemahan terhadap US dollar, yang didorong oleh menguatnya DXY,” ungkap Edi kepada CNBC Indonesia, Selasa (25/3/2025).
BACA JUGA:
Ini Aturan Salat Idul Fitri 1446 Hijriyah di Arab Saudi
Pada hari ini, indeks dolar AS (DXY) tercatat menguat 0,06% ke angka 104,32, lebih tinggi dibandingkan penutupan perdagangan sebelumnya di level 104,26.
Berdasarkan data Refinitiv, pada 25 Maret 2025 pukul 10:13 WIB, rupiah melemah 0,51% ke angka Rp16.635/US$. Posisi ini lebih buruk dibandingkan penutupan perdagangan pada 23 Maret 2020 yang berada di level Rp16.550/US$. Jika rupiah ditutup pada level ini, maka akan menjadi yang terendah sepanjang sejarah berdasarkan closing candle.
Faktor Domestik dan Global
Edi menambahkan bahwa selain faktor global, kondisi dalam negeri juga turut berkontribusi terhadap tekanan rupiah. Menjelang akhir kuartal pertama, permintaan dolar AS meningkat, terutama untuk pembayaran dividen dan utang.
“Di domestik terdapat genuine demand untuk kebutuhan repatriasi dan pembayaran lainnya,” jelasnya.
Untuk meredam tekanan lebih lanjut, BI telah melakukan pemantauan pasar dan siap melakukan intervensi jika diperlukan.
“Tentu kami masuk pasar dengan bold untuk menjaga keseimbangan supply demand valas di market,” terang Edi.
Ekonom Senior KB Valbury Sekuritas, Fikri C Permana, mengungkapkan bahwa pelemahan rupiah juga dipicu oleh aksi jual asing di pasar saham dan obligasi selama hampir tujuh hari perdagangan berturut-turut.
“Sudah hampir tujuh hari perdagangan net sell asing terus, kemungkinan mereka memang memindahkan dananya ke USD,” ujar Fikri.
Ia juga menambahkan bahwa faktor lain yang memperkuat permintaan dolar adalah pembayaran dividen dan utang pemerintah menjelang akhir kuartal pertama.
Ketidakpastian Global Memperburuk Tekanan
Selain faktor domestik, kebijakan luar negeri Amerika Serikat juga menambah tekanan terhadap rupiah. Ekonom Bank Danamon, Hosianna Situmorang, menjelaskan bahwa meningkatnya permintaan dolar menjelang libur panjang semakin membebani nilai tukar rupiah.
“Kebijakan tarif Trump menambah ketidakpastian global, sementara pengumuman personel Danantara meningkatkan skeptisisme pasar,” kata Hosianna.
Ia menambahkan bahwa kekhawatiran terhadap kesehatan fiskal Indonesia dan perlambatan ekonomi turut menekan pasar saham serta obligasi.
“Dengan faktor-faktor ini, rupiah diperkirakan sulit menguat, dan USD/IDR berpotensi menguji level resistensi 16.600 menjelang libur panjang dan jatuh tempo DNDF besar minggu ini,” jelasnya.
Senada dengan Hosianna, Ekonom Senior Bank Central Asia, Barra Kukuh Mamia, menilai tekanan terhadap rupiah lebih dipengaruhi oleh faktor eksternal dalam jangka pendek.
“Sebetulnya, walaupun valuasi equity kita turun, secara makro persepsi risiko ke pasar bonds dan valas seharusnya masih cukup baik. Ada kesempatan untuk equity yang rebound, tetapi di tengah ketidakpastian global saat ini, konvergensinya jadi terhambat,” ujar Barra.
Ia juga menyoroti kebijakan Presiden AS Donald Trump terkait tarif resiprokal perdagangan yang akan diberlakukan pada 2 April sebagai salah satu faktor utama pelemahan rupiah.
“Masih ada lanjutan sentimen negatif. Ini kan menghitung hari ke tanggal 2 April, tarif resiprokalnya Trump,” tambahnya.
Sementara itu, Direktur Purwanto Asset Management, Edwin Sebayang, menyoroti kombinasi arus keluar dari pasar saham dan obligasi sebagai alasan utama pelemahan rupiah.
Menurutnya, investor asing memilih keluar dari pasar Indonesia dan beralih ke aset yang lebih aman di AS akibat ketidakpastian yang masih tinggi di Tanah Air.
Dengan berbagai tekanan ini, pelaku pasar kini mencermati langkah Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas rupiah di tengah gejolak ekonomi global dan permintaan dolar AS yang tinggi di dalam negeri.