Headlines

Lagu “Hari Lebaran” Karya Ismail Marzuki Kritik Sosial yang Tetap Relevan di Setiap Idulfitri

IKOLOM.NEWS, MAKASSAR – Pada Hari Raya Idulfitri, suasana penuh suka cita mulai terasa, termasuk melalui lagu-lagu bernuansa Lebaran yang kembali mengisi ruang-ruang publik seperti televisi, radio, hingga media sosial. Salah satu lagu klasik yang selalu hadir setiap tahunnya adalah Hari Lebaran, karya legendaris Ismail Marzuki.

BACA JUGA:


Terjerat Utang, Pria di Luwu Timur Nekat Rampok Toko Emas, Ditangkap dalam 4 Jam


Komponis besar Indonesia ini dikenal lewat karya-karya abadi seperti Halo-Halo Bandung dan Indonesia Pusaka. Namun Hari Lebaran menjadi salah satu lagu yang istimewa karena bukan hanya mengandung semangat Idulfitri, tetapi juga menyisipkan kritik sosial yang tajam terhadap kondisi masyarakat Indonesia kala itu.

Menurut biografi Seabad Ismail Marzuki: Senandung Melintas Zaman karya Ninok Leksono, lagu ini pertama kali dinyanyikan oleh penyanyi bernama Didi — nama samaran dari Suyoso Karsono — yang saat itu menyembunyikan identitasnya. Ia membawakan lagu ini bersama Orkes Mus Mualim dan disiarkan oleh RRI pada 1952. Lagu ini kemudian makin populer setelah dibawakan kelompok vokal Lima Seirama.

Tak hanya di Indonesia, Hari Lebaran juga dikenal di Malaysia. Seniman besar P. Ramlee bahkan turut menyanyikannya dan memperkenalkan istilah “Lebaran” ke khalayak Negeri Jiran.

Lagu ini telah diaransemen ulang oleh sejumlah musisi seperti Tasya Kamila, Deredia, Gita Gutawa, hingga grup jazz Sentimental Moods yang membawakannya dalam versi instrumental.

Pengamat musik Michael Haryo Bagus Raditya menyebut lagu Hari Lebaran memadukan unsur jazz dan musik Melayu. Selain itu, liriknya memiliki tiga nuansa kuat: religi, hiburan, dan kritik sosial.

Dibuka dengan suasana suka cita Lebaran, lagu ini menyampaikan frasa akrab seperti “minal aidin wal faidzin, maafkan lahir dan batin,” serta harapan akan kesejahteraan rakyat. Namun, semakin dalam, liriknya menggambarkan realitas masyarakat Indonesia di era 1950-an.

Misalnya, ada bait yang menggambarkan masyarakat desa datang ke kota dengan pakaian serba baru, naik trem listrik, dan berjalan kaki hingga kakinya lecet. Liriknya disajikan dengan nada jenaka namun penuh makna:

“Setahun sekali naik terem listrik perey,

Hilir mudik jalan kaki pincang sampai sore,

Kakinya pada lecet babak belur berabe.”

Lebih jauh, Ismail Marzuki juga menyoroti perilaku orang kota yang menyalahgunakan momen Lebaran untuk berjudi dan mabuk-mabukan. Kritik tajam ini bahkan sampai menyentil kekerasan dalam rumah tangga:

Sehari semalam maen ceki mabuk brendy,

Pulang sempoyongan kalah main pukul istri.

Lagu ini bukan hanya cerminan budaya masyarakat saat itu, tetapi juga merefleksikan kondisi sosial-politik Indonesia pasca kemerdekaan, ketika stabilitas belum tercapai. Dalam lirik “Selamat para pemimpin, rakyatnya makmur terjamin,” Ismail menyampaikan sindiran terhadap janji pemerintah yang tak sejalan dengan kenyataan.

Putri Ismail, Rachmi Aziah, pernah mengatakan bahwa ayahnya kerap menciptakan lagu berdasarkan kondisi masyarakat di zamannya. Salah satunya adalah soal praktik korupsi yang mulai tumbuh di kalangan pejabat, seperti dalam baris:

Kondangan boleh kurangin, korupsi jangan kerjain

Sayangnya, beberapa versi modern lagu ini memilih untuk menghapus bagian-bagian sindiran tersebut. Meski begitu, pesan yang ingin disampaikan Ismail Marzuki tetap relevan hingga kini — khususnya di tengah budaya konsumtif saat Lebaran dan maraknya kasus korupsi yang membuat rakyat belum benar-benar sejahtera.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *