IKOLOM.NEWS, NASIONAL – Menteri Koordinator Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, menegaskan bahwa pidana mati dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional tidak dihapus.
Hukuman tersebut tetap berlaku, namun kini ditempatkan sebagai sanksi pidana yang bersifat khusus dan hanya dapat dijatuhkan serta dilaksanakan dengan sangat hati-hati.
Yusril menjelaskan, KUHP yang baru mengatur agar jaksa selalu menyertakan alternatif hukuman, seperti pidana penjara seumur hidup, saat menuntut pidana mati.
BACA JUGA:
Trump Tunda Tarif Resiprokal untuk Mitra Dagang, Tapi Naikkan Tarif China Jadi 125 Persen
Hal ini memberi ruang bagi majelis hakim untuk mempertimbangkan hukuman yang lebih ringan.
“Pemerintah dan DPR memang harus menyusun undang-undang tentang tata cara pelaksanaan hukuman mati sebagaimana diamanatkan Pasal 102 KUHP Nasional yang baru. Namun secara substansi, ketentuan mengenai pidana mati sebagai pidana khusus telah dirumuskan secara tegas dalam Pasal 64 huruf c serta Pasal 67 dan 68 KUHP Nasional,” ujar Yusril dalam keterangan tertulis, Rabu (9/4/2025).
Lebih lanjut, Yusril menjelaskan bahwa eksekusi hukuman mati tidak bisa dilakukan langsung setelah putusan pengadilan. Hukuman hanya dapat dieksekusi jika permohonan grasi yang diajukan terpidana ditolak oleh Presiden.
Ia menambahkan, Pasal 99 dan 100 KUHP juga memberi kewenangan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan 10 tahun.
Jika selama masa tersebut terpidana menunjukkan penyesalan dan perubahan perilaku, Presiden dapat mengganti hukuman mati menjadi hukuman penjara seumur hidup.
“Ini adalah bentuk pendekatan yang sangat hati-hati, sebagai penghormatan terhadap hak hidup yang merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa,” katanya.
Yusril menekankan bahwa kehati-hatian ini penting karena tidak ada koreksi yang mungkin dilakukan setelah pidana mati dilaksanakan.
Ia mengutip sabda Nabi Muhammad SAW yang mengatakan bahwa lebih baik membebaskan orang yang bersalah daripada menghukum mati orang yang tidak bersalah.
Terkait dengan perdebatan soal hak asasi manusia (HAM), Yusril menyatakan bahwa sikap terhadap hukuman mati sangat bergantung pada tafsir filosofis terhadap hak hidup.
Ia menjelaskan bahwa KUHP Nasional mengambil posisi tengah, menghormati hukum yang hidup di masyarakat termasuk hukum pidana Islam, hukum adat, dan hukum warisan Belanda.
“Karena itu, pidana mati tidak dihapuskan, tapi dirumuskan sebagai ultimum remedium, atau upaya terakhir, dengan pelaksanaan yang dilakukan secara penuh kehati-hatian,” kata Yusril.
Dalam konteks yang sama, Presiden Prabowo Subianto sebelumnya menyampaikan pandangannya bahwa ia tidak setuju dengan penerapan hukuman mati bagi pelaku korupsi.
Menurutnya, hukuman mati terlalu final dan berisiko jika terjadi kesalahan dalam proses hukum.
“Keyakinan 99,9 persen masih menyisakan kemungkinan orang tersebut dijebak atau menjadi korban,” kata Prabowo.
Ia menekankan pentingnya pengembalian kerugian negara dan penyitaan aset hasil korupsi, namun mengingatkan agar keluarga pelaku tidak ikut menanggung akibat dari kejahatan tersebut.