Oleh: dr. Whendy Wijaksono, Sp.P (dokter spesialis pulmonologi dan kedokteran respirasi)
IKOLOM.NEWS, OPINI – Setiap 31 Mei, dunia memperingati Hari Tanpa Tembakau Sedunia sebagai pengingat atas bahaya konsumsi tembakau terhadap kesehatan masyarakat. Di Indonesia, kampanye bebas tembakau semakin mendesak, terlebih di tengah meningkatnya prevalensi perokok anak dan maraknya rokok alternatif seperti vape. Namun, jalan untuk menurunkan angka konsumsi tembakau tidaklah mudah. Di satu sisi, rokok membahayakan kesehatan publik dan generasi muda; di sisi lain, industri rokok masih menjadi sumber pendapatan negara dan penyerap tenaga kerja.
BACA JUGA:
Misteri Terminal Lucidity: Kilasan Kesadaran Menjelang Ajal
Bahaya Nyata di Depan Mata
Berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan RI, prevalensi perokok anak (usia 10–18 tahun) mencapai 10,7%, meningkat signifikan dibandingkan 9,1% pada 2018 (Riskesdas). Artinya, satu dari sepuluh anak Indonesia kini aktif merokok, di tengah gencarnya kampanye bahaya rokok.
Menurut World Health Organization (WHO) Tobacco Facts 2024, Indonesia menempati posisi ketiga dunia dalam jumlah perokok dewasa, setelah China dan India. Selain itu, data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2022 menunjukkan bahwa 33% remaja pengguna tembakau di Indonesia telah menggunakan rokok elektrik, yang sering diasosiasikan sebagai produk “lebih aman” padahal tetap mengandung nikotin.
Dampak Ekonomi dan Kesehatan
Menurut BPJS Kesehatan, pengeluaran untuk penanganan penyakit terkait tembakau seperti kanker paru, stroke, dan jantung mencapai Rp 15,5 triliun pada 2023. Hal ini menegaskan bahwa dampak rokok bukan hanya pada kesehatan individu, tapi juga pada keuangan negara. Rokok adalah kontributor utama penyakit tidak menular, dan ini adalah beban sistemik. Kita tidak hanya bicara tentang kesehatan pribadi, tapi juga tentang keberlangsungan pembiayaan kesehatan nasional.
Industri Rokok: Pilar Ekonomi yang Rentan
Menurut data Kementerian Keuangan RI (Laporan APBN 2024), pendapatan negara dari Cukai Hasil Tembakau (CHT) mencapai Rp 216,9 triliun, menjadikannya salah satu kontributor utama APBN. Industri ini juga menyerap sekitar 5,6 juta pekerja secara langsung dan tidak langsung (data Gappri 2023).
Namun, keberlangsungan industri ini justru terancam oleh peredaran rokok ilegal, yang merugikan negara hingga Rp 5–7 triliun per tahun (Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, 2023), serta oleh perkembangan produk rokok elektrik yang belum diatur secara komprehensif. Bahkan menurut Indodata Research Center mengungkapkan, peredaran rokok ilegal sepanjang 2024 terdiri dari rokok polos atau tanpa pita cukai, rokok palsu, salah peruntukan (saltuk) rokok bekas dan salah personalisasi mengakibatkan potensi kerugian negara diperkirakan Rp97,81 triliun.
“Jika industri konvensional tidak direformasi dan peredaran produk alternatif tidak diregulasi ketat, kita akan menghadapi krisis ganda: kerugian ekonomi dan degradasi kesehatan,” kata Dr. Faisal Basri, ekonom senior Universitas Indonesia dalam forum ekonomi kesehatan 2024.
Langkah Strategis: Regulasi, Transformasi, Edukasi
Pemerintah telah meluncurkan Peraturan Pemerintah No.28 tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Kesehatan, bagian pengamanan zat adiktif dimana aturan ini menyetarakan aturan rokok elektrik dengan produk tembakau. Namun implementasinya masih perlu penguatan, terutama di tingkat daerah. Selain memperketat cukai dan pelarangan iklan, regulasi rokok elektrik perlu segera diformalkan untuk mencegah penetrasi pasar anak muda.
Rokok elektrik kerap dipromosikan sebagai alternatif yang lebih aman atau bahkan sebagai jalan keluar untuk berhenti merokok. Namun kenyataannya, rokok elektrik bukanlah solusi sejati. Produk ini justru memperpanjang dan memindahkan ketergantungan terhadap nikotin dalam bentuk yang berbeda. Tanpa regulasi yang tegas dan edukasi publik yang kontekstual, rokok elektrik berpotensi menjadi pintu masuk baru, terutama bagi anak muda, ke dalam siklus adiksi nikotin yang sama berbahayanya.
Program diversifikasi tanaman bagi petani tembakau juga penting sebagai solusi jangka panjang. Insentif pertanian hortikultura, pelatihan keterampilan, dan akses pembiayaan perlu disiapkan agar transisi ini tidak menciptakan kemiskinan struktural baru.
Penutup: Kesehatan dan Masa Depan Bangsa
Kampanye bebas tembakau bukan gerakan anti-industri, tetapi agenda nasional untuk melindungi generasi masa depan. Regulasi yang berimbang, transformasi industri, serta edukasi publik yang efektif harus menjadi tiga pilar dalam strategi pengendalian tembakau di Indonesia.
Dengan keberanian politik dan keberpihakan pada kesehatan publik, Indonesia bisa keluar dari paradoks tembakau dan menuju masa depan yang lebih sehat dan berkelanjutan.
Daftar Sumber:
Kementerian Kesehatan RI – Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023
Riskesdas 2018 – Badan Litbangkes, Kemenkes RI
World Health Organization – Tobacco Fact Sheet (Mei 2024)
Global Youth Tobacco Survey Indonesia Report, WHO & CDC, 2022
BPJS Kesehatan – Laporan Tahunan 2023
Kementerian Keuangan RI – APBN Kita, Desember 2023
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai – Laporan Cukai 2023
Gappri – Statistik Industri Hasil Tembakau Indonesia 2023
Indodata Research Center – antaranews.com
Fact-sheet perubahan pengaturan produk tembakau PP no.28 tahun 2024 – komnaspt.or.id