Manufaktur Indonesia Jadi Andalan Ekspor, Tapi Menperin Ingatkan Bahaya “Bom Waktu” Emisi!

Ikolom.Jakarta – Sektor manufaktur atau Industri Pengolahan Non Migas (IPNM) mencatat pertumbuhan positif pada semester I 2025 sebesar 5,60%. Angka ini lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional yang berada di level 5,12%.

Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita menyebut, sektor IPNM berkontribusi sebesar 16,92% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Selain itu, ekspor produk manufaktur Indonesia juga mendominasi total ekspor nasional.

“Januari hingga Juli 2025 ekspor dari produk-produk manufaktur nasional itu sebesar 80%. Jadi 80% ekspor nasional itu berasal dari produk-produk manufaktur. Dan juga investasi yang masuk di Indonesia, baik PMA maupun PMDN itu 38,9% itu masuk ke sektor manufaktur atau Rp 366,6 triliun,” ujar Agus dalam acara Kumparan Green Initiatives Conference 2025 di Hotel Borobudur, Jakarta, Kamis (18/9/2025), dikutip dari detik.com.

Agus menambahkan, hingga Februari 2025 sektor IPNM telah menyerap 19,6 juta tenaga kerja atau sekitar 13,45% dari total angkatan kerja nasional. Namun, ia mengingatkan pertumbuhan pesat ini membawa konsekuensi terhadap peningkatan emisi.

“Penyerapan tenaga kerja di sektor IPNM hingga Februari sebanyak 19,6 juta orang atau 13,45% dari total tenaga kerja nasional. Namun demikian catatannya, tentu pertumbuhan dari sektor manufaktur yang cukup menggerakkan, ada konsekuensinya. Konsekuensinya tadi yaitu peningkatan emisi, peningkatan emisi,” jelasnya.

Untuk menjawab tantangan tersebut, Kemenperin tengah mendorong transformasi menuju industri hijau melalui Green Industry Service Company (Gisco). Inisiatif ini melibatkan investor hingga lembaga keuangan guna mendukung pembiayaan transisi ramah lingkungan.

Agus menegaskan, biaya transformasi industri hijau bukanlah beban, melainkan investasi yang menguntungkan dalam jangka menengah dan panjang. Menurutnya, emisi sektor industri pada periode 2011–2023 meningkat dua kali lipat, di mana 73% bersumber dari konsumsi energi berbahan bakar fosil.

“Bila tidak ada upaya dan upaya itu tentu harus tepat, maka dikhawatirkan pada tahun 2050 akan terjadi dua kali lipat lagi, lebih besar terhadap emisi yang akan dihasilkan di sektor manufaktur,” tegas Agus.

“Dan oleh karena itu transisi hijau, transisi transformasi industri menjadi industri hijau, adalah merupakan sebuah kebutuhan mutlak untuk bukan hanya keberlanjutan sektor industri, tapi juga keberlanjutan ekonomi secara utuh dan juga keberlanjutan hidup bangsa dan negara kita,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *