Ikolom.News – Seorang jurnalis olahraga ternama Malaysia, Zulhelmi Zainal, menuding Indonesia berada di balik sanksi berat FIFA terhadap sepak bola Malaysia, menurut laporan VN Express.
“Ada rumor bahwa terdapat kekuatan asing yang berusaha menyabot tim nasional Malaysia karena takut dengan kebangkitan Harimau Malaya. Kekuatan ini disebut-sebut punya hubungan dekat dengan level tertinggi kepemimpinan FIFA,” tulis Zainal di X, Kamis (25/9/2025).
Sebelumnya, FIFA menuduh Federasi Sepak Bola Malaysia (FAM) memalsukan dokumen naturalisasi pemain.
Akibat tuduhan tersebut, federasi sepak bola dunia itu menjatuhkan denda sebesar 350.000 franc Swiss (sekitar Rp 7,3 miliar) kepada FAM, dan melarang tujuh pemain naturalisasi untuk berlaga selama satu tahun.
Tujuh pemain yang dihukum FIFA adalah Gabriel Palmero, Jon Irazabal (Spanyol), Facundo Garces, Rodrigo Holgado, Imanol Machuca (Argentina), Joao Figueireido (Brasil), dan Hector Hevel (Belanda).
Sanksi ini tidak hanya merugikan timnas Malaysia, tetapi juga klub-klub di Malaysia, Spanyol, Argentina, Kolombia, hingga Belanda yang harus kehilangan pemain inti di tengah musim kompetisi.
Unggahan Zulhelmi Zainal tersebut seketika memicu perdebatan sengit di dunia maya antara pendukung sepak bola Malaysia dan Indonesia.
Media Indonesia, Akuratco, melaporkan bahwa sebagian fans menafsirkan pernyataan itu sebagai sindiran bahwa Indonesia ikut berperan dalam jatuhnya sanksi.
Beredar pula sebuah gambar yang mengaitkan Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) sekaligus Menteri Pemuda dan Olahraga Indonesia, Erick Thohir, dengan Presiden FIFA Gianni Infantino.
Foto itu kemudian menimbulkan spekulasi di kalangan warganet Malaysia bahwa Indonesia memiliki “akses khusus” ke pucuk pimpinan FIFA.
Komite Disiplin FIFA menegaskan, FAM terbukti menggunakan dokumen palsu untuk naturalisasi tujuh pemain.
Konsekuensinya, Malaysia terancam kehilangan kemenangan 4-0 atas Vietnam di Kualifikasi Piala Asia 2027.
Sesuai regulasi AFC, jika ada satu saja pemain tidak sah bermain, maka pertandingan otomatis dimenangkan lawan dengan skor 3-0. Hal ini bisa membuat Malaysia tersingkir lebih awal dari turnamen.
Situasi ini membuka peluang besar bagi Vietnam, yang hanya perlu bersaing dengan Nepal dan Laos — dua negara dengan peringkat FIFA jauh di bawah mereka.
Media Malaysia, New Straits Times, mencatat kasus ini sebagai sesuatu yang “tak lazim dan belum pernah terjadi” dalam sejarah sepak bola mereka. Pasalnya, banyak fans kesulitan mengenali para pemain naturalisasi tersebut atau mengetahui latar belakang mereka.
Padahal, menurut regulasi FIFA, seorang pemain baru bisa dinaturalisasi jika sudah tinggal lima tahun secara beruntun atau memiliki garis keturunan orang tua maupun kakek-nenek dari negara tersebut.
Kemudian, semua dokumen wajib diverifikasi FIFA Legal Committee sebelum pemain diizinkan tampil.
Menariknya, media Indonesia sebelumnya sudah menyoroti kejanggalan dokumen pemain Malaysia sejak Juni lalu, terutama terkait dokumen bek Facundo Garces yang disebut-sebut memiliki darah Malaysia melalui neneknya. Saat itu, sempat beredar kabar bahwa FIFA dan AFC akan menjatuhkan sanksi, yang kini terbukti benar.
Kasus sanksi FIFA terhadap FAM tidak hanya berimplikasi pada citra sepak bola Malaysia, tetapi juga memperlihatkan bagaimana isu naturalisasi bisa menjadi arena tarik-menarik politik dan rivalitas regional.
Tuduhan Zulhelmi Zainal bahwa ada “campur tangan Indonesia” lebih mencerminkan ketegangan emosional antara suporter kedua negara, ketimbang bukti faktual.
Sementara itu, kerugian terbesar justru dialami klub-klub Eropa dan Amerika Latin yang kehilangan pemain inti akibat larangan bermain.
Kondisi ini juga menunjukkan betapa rumitnya praktik naturalisasi di sepak bola modern: jika tidak dikelola secara transparan, potensi manipulasi dokumen bisa berujung pada sanksi berat.
Dengan peluang Malaysia di Kualifikasi Piala Asia 2027 yang kini terancam, fokus publik sebaiknya bergeser dari teori konspirasi ke pembenahan tata kelola sepak bola nasional agar kasus serupa tidak terulang.