Komnas Perempuan Soroti Dugaan Penangkapan Sewenang-wenang Tiga Perempuan Peserta Unjuk Rasa

Ikolom.Jakarta – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menemukan dugaan penangkapan sewenang-wenang terhadap tiga perempuan yang kini berstatus tersangka dalam kasus terkait unjuk rasa pada Agustus 2025.

Wakil Ketua Komnas Perempuan, Dahlia Madanih, mengatakan dari hasil pemantauan lembaganya, para perempuan berhadapan dengan hukum (PBH) itu ditangkap tanpa prosedur yang sesuai hukum.

“Situasi yang dialami tiga PBH ini juga ada yang ditangkap langsung di rumah tanpa adanya pemanggilan resmi terlebih dahulu. Hal itu menimbulkan rasa trauma bagi mereka dan keluarga,” ujar Dahlia dalam rapat kerja Komisi XIII DPR RI bersama Tim Independen Lembaga Nasional HAM, di Kompleks Parlemen, Senin (29/9/2025). Dilansir dari lama berita kompas.com

Menurut Dahlia, ketiga perempuan itu hadir di lokasi unjuk rasa dengan latar belakang berbeda.

Ada yang sekadar menonton atau berada di sekitar jalan aksi, namun tetap ditangkap aparat.

“Dari temuan yang kami pantau, khususnya untuk situasi perempuan yang ditahan dalam rangkaian unjuk rasa, perempuan yang ditangkap di dalam unjuk rasa itu bukan peserta yang sengaja mengikuti demonstrasi,” ucap Dahlia.

Dia menambahkan bahwa alasan penangkapan dan pemahaman salah satunya berawal dari unggahan di media sosial.

Selain itu, proses pemeriksaan awal berlangsung lama akibat keterbatasan jumlah penyidik, serta dilakukan tanpa penasihat hukum.

“Ketiganya mengalami pola penangkapan tanpa prosedur, tanpa due process of law, tanpa penasihat hukum, keterlambatan pemberitahuan kepada keluarga, dan menghadapi ancaman hukuman di atas lima tahun,” kata Dahlia.

Ketua Komisi XIII DPR RI, Willy Aditya, kemudian meminta Komnas Perempuan memberikan data yang lebih eksplisit.

Misalnya, inisial dari ketiga perempuan yang dimaksud.

“Sorry, ini biar enggak asumtif. Eksplisit aja. Kita pengen dengar hal yang eksplisit justru. Ini yang tiga ini siapa aja? Di mana? Kalau bisa disebut, ya kalau mau disingkat, enggak mau disebut namanya, ya disingkat aja inisial aja. Jadi biar kita tidak saling duga-menduga ini,” kata Willy.

Atas permintaan Willy, Dahlia menyebut ketiga perempuan tersebut berinisial L, F, dan G.

Dua orang ditahan di Polda Metro Jaya, sementara satu orang berada di Bareskrim Polri.

“Satu perempuan juga mempunyai balita. Anak berusia dua tahun itu kini terpisah dari ibunya,” tutur Dahlia.

Salah satu dari mereka, L, ditangkap saat bekerja dari rumah pada 29 Agustus 2025 pukul 17.00 WIB.

Surat perintah penangkapan, surat penetapan tersangka, dan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) baru diterbitkan sehari setelahnya.

“L diperiksa sejak pukul 22.00-03.30 dini hari tanpa kuasa hukum,” ucap Dahlia dalam paparannya.

Perempuan lain, F, ditetapkan sebagai tersangka pada 30 Agustus 2025 tanpa pemeriksaan awal.

F dijemput aparat pada 1 September 2025 pukul 23.00 WIB dan dipaksa menandatangani dokumen penetapan tersangka tanpa pendamping hukum.

“Keluarga baru tahu keberadaannya 2 September 2025 pukul 18.00 WIB. Lebih dari 18 jam tidak ada akses keluarga,” ungkap Dahlia.

Adapun G, lanjut Dahlia, adalah perempuan berusia 18 tahun yang memiliki keterbatasan literasi, ditangkap di rumahnya pada 29 Agustus 2025 pukul 23.00 WIB.

Dia digerebek oleh 3 sampai 4 polisi berpakaian preman dan ditangkap bersama suaminya.

G ditangkap karena unggahan di akun media sosial pribadinya, yang dibuat oleh suaminya.

“G ditempatkan di tahanan narkoba. Tidak memahami proses hukum, sempat mengalami panik, histeris, dan sesak napas,” papar Dahlia.

Kasus tiga perempuan berinisial L, F, dan G yang ditangkap terkait unjuk rasa Agustus 2025 menyoroti lemahnya penerapan prinsip hukum acara pidana di Indonesia.

Komnas Perempuan menilai ada indikasi pelanggaran hak asasi berupa penangkapan tanpa surat resmi, pemeriksaan tanpa kuasa hukum, keterlambatan pemberitahuan keluarga, hingga ancaman hukuman berat.

Situasi ini semakin kompleks karena menyangkut kelompok rentan: seorang ibu dengan balita dan seorang remaja 18 tahun dengan keterbatasan literasi.

Penangkapan berbasis unggahan media sosial juga menimbulkan kekhawatiran terkait kebebasan berekspresi.

DPR melalui Komisi XIII meminta kejelasan identitas untuk memastikan akuntabilitas, sementara Komnas Perempuan menegaskan perlunya penegakan hukum yang transparan, akuntabel, serta sensitif gender agar perempuan berhadapan dengan hukum tidak mengalami diskriminasi berlapis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *