Aksi 28 Agustus: Ledakan Kemarahan Rakyat atau Rekayasa Politik?

Opini – Gelombang demonstrasi serentak yang pecah pada 28 Agustus 2025 mencatat sejarah kelam bangsa ini. Dari Jakarta hingga Makassar, dari Solo hingga NTB, aksi yang bermula damai berubah menjadi kerusuhan tak terbendung: pembakaran gedung DPRD, penjarahan fasilitas negara, hingga jatuhnya korban jiwa.

Awalnya, demonstrasi digerakkan oleh aliansi mahasiswa dan masyarakat sipil menolak kebijakan pemerintah yang dinilai abai terhadap rakyat. Isu kenaikan pajak dan tunjangan DPR menjadi pemantik utama. Namun di lapangan, protes yang seharusnya menjadi ruang penyampaian aspirasi justru bertransformasi menjadi ledakan kemarahan sosial.

Makassar menjadi episentrum kerusuhan. Dua gedung DPRD—kota dan provinsi—hangus terbakar. Puing-puing sisa kebakaran dijarah, mulai dari pintu, televisi, hingga brankas ATM. Empat orang dinyatakan meninggal dunia. Dari titik inilah, api kerusuhan merembet ke berbagai daerah lain.

Insiden tragis di Jakarta, ketika mobil rantis Brimob menabrak seorang driver ojek online hingga tewas, menambah bara kemarahan rakyat. Publik menilai aparat bertindak represif, sementara pemerintah dianggap gagal meredam situasi.

Di tengah gejolak, simbol-simbol perlawanan pun bermunculan. Pengibaran bendera anime One Piece—yang oleh sebagian kalangan dianggap sebagai tanda protes—menjadi fenomena kontroversial. Pemerintah bahkan memerintahkan penindakan terhadap masyarakat yang mengibarkan bendera tersebut.

Tak pelak, muncul beragam spekulasi. Ada yang menuding kerusuhan ditunggangi pihak asing. Ada pula yang mengaitkannya dengan manuver politik dalam negeri, terutama ketika Presiden Prabowo intens memberantas korupsi. Nama-nama besar seperti pengusaha migas Rizal Chalid pun terseret dalam pusaran isu sebagai dalang di balik aksi.

Namun di balik teori konspirasi, ada kenyataan pahit yang tak bisa diabaikan: ketidakpercayaan publik terhadap DPR dan pemerintah. Video viral anggota DPR berjoget di ruang sidang semakin mempertebal anggapan bahwa wakil rakyat hidup dalam dunia yang berbeda dengan penderitaan rakyatnya.

Hingga 1 September 2025, aksi serentak masih terus berlangsung. Api kerusuhan seolah belum padam. Pertanyaannya kini, apakah semua ini murni kemarahan rakyat terhadap kebijakan yang tak berpihak? Ataukah benar ada kekuatan tersembunyi yang menunggangi gelombang protes untuk kepentingan tertentu?

Satu hal pasti: ketika suara rakyat diabaikan, jalanan akan terus berbicara. Dan sejarah Indonesia selalu mencatat, kemarahan rakyat yang dibiarkan bisa mengguncang fondasi kekuasaan.

 

Oleh: Wahid

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *