Bendera One Piece dan Kekosongan Nasionalisme Kita: Kritik Diam Dari Generasi Muda

Ikolom.News – Menjelang peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80, masyarakat digital digegerkan oleh pemandangan tak biasa: berkibarnya bendera bajak laut One Piece di beberapa tempat bahkan di media sosial. Dalam hitungan waktu yang cepat, fenomena ini viral dan menuai kecaman dari berbagai kalangan. Ada yang menyebutnya penghinaan terhadap simbol negara, ada pula yang menganggap ini sebagai ulah “anak muda yang kebablasan” bahkan menggagap ini sebagai fomo. Namun sebagai warga kecil negara ini, saya melihat ini lebih dalam—bukan sekadar aksi konyol, tapi sebagai gejala sosial yang menandakan retaknya hubungan antara negara dan generasi mudanya.

Simbol bukan hanya soal bentuk, melainkan makna. Ketika generasi muda lebih memilih mengibarkan lambang tengkorak ala bajak laut fiksi dibanding bendera negara saat hari kemerdekaan, itu menunjukkan ada sesuatu yang lebih serius dari sekadar tren media sosial: krisis keterikatan emosional terhadap simbol negara. Simbol nasional kehilangan maknanya ketika kehidupan sehari-hari justru menunjukkan kontradiksi dengan semangat kemerdekaan yang diagung-agungkan saban tahun.

Fenomena ini bukan hal baru dalam kajian komunikasi media & politik. Media sosial saat ini bukan sekadar alat komunikasi, tetapi ruang publik baru yang membentuk cara berpikir dan cara merasa anak muda terhadap negara. Di sana, narasi populer berkelindan dengan identitas politik, membentuk medan simbolik baru. Dalam dunia di mana wacana publik ditentukan oleh algoritma dan viralitas, simbol bajak laut yang mewakili perjuangan, kebebasan, dan loyalitas justru lebih mudah diresonansi dibanding pidato-pidato kenegaraan yang berjarak dari realitas.

Banyak yang lupa: simbol negara hanya hidup jika negara hadir. Ketika rakyat merasakan keadilan, ketika suara publik didengar, dan ketika pemuda diberi ruang tumbuh dan berpendapat—di situlah bendera merah putih berkibar bukan hanya secara fisik, tapi secara batin. Namun yang terjadi hari ini justru sebaliknya. Hukum kian terasa tumpul ke atas, suara kritis dianggap ancaman, dan ruang partisipasi politik formal makin sempit oleh dominasi elit. Dalam situasi seperti itu, anak muda mencari makna lain—dan media sosial menyediakan panggungnya.

Simbol bajak laut dalam One Piece bukanlah sembarang lambang. Ia mewakili perlawanan terhadap otoritas yang korup, perjuangan melawan ketidakadilan dan solidaritas dalam kebebasan., dan mimpi tentang dunia yang lebih adil—tema-tema yang ironisnya makin sulit ditemukan dalam kehidupan kenegaraan kita. Ketika simbol fiksi lebih mewakili aspirasi dan emosi publik ketimbang simbol negara, maka yang harus dipertanyakan bukan hanya siapa yang mengibarkan, tetapi kenapa itu terjadi ???

Perlu diingat, generasi muda saat ini lahir dalam era digital yang sarat dengan narasi global, nilai baru, dan bentuk ekspresi yang cair. Mereka tidak lagi tunduk pada narasi tunggal nasionalisme, apalagi jika narasi itu terasa normatif, kosong, atau hanya dipakai sebagai pembungkus kekuasaan. Nasionalisme bukan soal upacara dan pidato semata, tetapi soal keadilan yang dirasakan dan harapan yang dihidupi.

Dalam studi komunikasi kontemporer, ada istilah resistance through symbols—perlawanan yang dilakukan bukan melalui senjata atau demonstrasi, tetapi lewat simbol, meme, dan bahasa visual. Apa yang kita lihat dalam kasus ini adalah sinyal ketidakpuasan, ekspresi jenuh, dan kritik yang terselubung namun kuat. Sayangnya, pemerintah dan sebagian elit memilih menindaknya secara formalistik, bukan membacanya sebagai sinyal sosial yang harus ditanggapi secara reflektif.

Kemerdekaan tidak cukup dirayakan dengan seragam dan spanduk. Ia harus terasa dalam keadilan hukum, kebebasan berekspresi, dan pengakuan atas suara yang beragam. Mengibarkan bendera One Piece mungkin salah secara aturan, tapi bila kita hanya sibuk menghukum tanpa mendengar jeritannya, jangan salahkan generasi muda jika kelak yang mereka kibarkan bukan lagi simbol fiksi—tetapi perlawanan yang nyata.

Oleh: La Ode Muhamad Yuslan Mahasiswa Komunikasi Media & Politik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *