IKOLOM.NEWS, NASIONAL — Sebuah draf Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) beredar dan memunculkan sorotan publik. Dalam draf tersebut, disebutkan bahwa jaksa hanya menjadi penyidik untuk kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat.
BACA JUGA: Pemerintah Tarik Utang Baru di Awal 2025, Setara 28,9 Persen dari Target APBN
Ketentuan tersebut tercantum dalam Pasal 6 draf RUU KUHAP yang mengatur tentang kategori penyidik. Dalam pasal tersebut, penyidik dibagi menjadi tiga kelompok, yakni Penyidik Polri, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), dan Penyidik Tertentu.
Adapun bunyi Pasal 6 sebagai berikut:
(1) Penyidik terdiri atas:
a. Penyidik Polri;
b. PPNS; dan
c. Penyidik Tertentu.
(2) Penyidik Polri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan penyidik utama yang diberi kewenangan untuk melakukan Penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan ketentuan Undang-Undang.
(3) Ketentuan mengenai syarat kepangkatan, pendidikan dan pelatihan, serta sertifikasi bagi pejabat yang dapat melakukan Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Lebih lanjut, dalam bagian penjelasan disebutkan bahwa yang dimaksud “Penyidik Tertentu” termasuk penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penyidik perwira TNI AL yang menangani bidang perikanan, kelautan, dan pelayaran, serta jaksa untuk kasus pelanggaran HAM berat.
Namun, Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menegaskan bahwa draf tersebut bukanlah hasil final. Ia mengatakan bahwa draf akhir yang kini dibahas tidak membatasi kewenangan jaksa hanya pada penyidikan kasus HAM berat.
“Saya melihat bahwa draf tersebut sepertinya bukan hasil yang terakhir. Draf terakhir yang seharusnya terakhir tertulis penyidik tertentu misalnya penyidik KPK, penyidik kejaksaan, atau penyidik OJK sebagaimana diatur dalam undang-undang,” ujar Habiburokhman, Sabtu (15/3/2025) seperti yang dikutip dari detikcom.
Habiburokhman menambahkan, RUU KUHAP tidak mengatur secara spesifik kewenangan institusi dalam menangani tindak pidana tertentu. Menurutnya, KUHAP hanya menjadi pedoman tata cara peradilan pidana, sementara kewenangan institusi diatur dalam undang-undang lain.
“RUU KUHAP juga tidak mencabut undang-undang lain atau materiil manapun sepanjang tidak mengatur acara pidana yang diatur dalam KUHAP,” tegasnya.
Dalam draf terakhir, disebutkan bahwa ‘Penyidik Tertentu’ mencakup beberapa institusi, di antaranya KPK, Kejaksaan, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tanpa pembatasan pada kasus tertentu.
“Yang dimaksud dengan ‘Penyidik Tertentu’ misalnya Penyidik Tertentu Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Penyidik Tertentu Kejaksaan, dan Penyidik Tertentu Otoritas Jasa Keuangan (OJK),” bunyi penjelasan dalam draf akhir.
Dengan klarifikasi ini, DPR memastikan kewenangan jaksa dalam penyidikan tetap mengacu pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan tidak terbatas hanya pada kasus HAM berat.