Dalam karya Asief Budi “Hikayat Mitobotani.” Mengatakan bahwa, sebelum kita mengenal kata ‘konservasi’, orang tua dulu punya cara sederhana nan arif untuk menjaga alam: mereka merajut cerita tentang pohon dan penunggunya, tentang hantu dan yang keramat.
Kita dulu berpikir, cerita-cerita itu sekadar guna menakut-nakuti anak kecil dan sebagainya . Namun, kini kusadari, ada relasi mendalam yang terjalin. Ia adalah kontrak tak tertulis antara manusia dan alam. Setiap pohon besar yang ditinggali adalah pohon yang terlindungi. Ketakziman terhadapnya dalam mitos bukan tanpa sebab, ia adalah rumah bagi ekosistem, penjaga mata air, penyangga tanah, dan pabrik oksigen bagi kehidupan.
Tapi lihatlah sekarang. Narasi sakral itu telah usang digerus zaman. Kapitalisme dan rakusnya sang pejabat dan para cukong di belakangnya telah menciptakan mitos baru yang lebih dahsyat: mitos “pembayaran”.
Pohon-pohon raksasa itu tak lagi dinilai dari lebarnya kanopi atau kedalaman akarnya, melainkan dari volume kayu dalam kubikasi. Hutan yang lebat bukan lagi paru-paru dunia yang tak ternilai, melainkan karbon tersimpan yang bisa dikonversi menjadi angka di bursa karbon. “Pembayaran hutan” hadir sebagai ritus baru: seolah kita bisa mengganti nyawa suatu ekosistem dengan sejumlah uang, seolah keramat sebuah bioma bisa ditebus dengan sertifikat.
Inilah kerakusan yang terinstitusionalisasi. Mereka membayar untuk menghancurkan, lalu membayar (sedikit) untuk seolah-olah menebus dosa. Mereka mengkapitalisasi ketakutan kita akan krisis iklim, mengubah pohon dan hutannya menjadi komoditi baru bernama “jasa lingkungan”. Padahal, jasa itu adalah napas itu sendiri, yang tak akan pernah terbayar.
Maka, dalam hikayat yang baru, hantu-hantu itu mungkin telah perah. Yang tersisa adalah siluman-siluman bermeterai. Mereka tak lagi meminta sesajen, tapi pembayaran administratif. Mereka tak lagi menghantui yang menebang, tapi merapalkan mantra “izin sudah beres, ini legal!”.
Namun, alam punya bahasa akhirnya sendiri. Ketika pohon terakhir tumbang oleh narasi pembayaran itu, yang akan datang bukanlah hantu lokal yang bisa dinegosiasikan, melainkan malapetaka global yang tak kenal angka: udara tandus, banjir bandang, panas yang membakar. Saat itu, tak ada lagi cerita yang bisa kita karang, dan tak ada uang yang cukup untuk membayar kembali keramat yang telah kita jual.
Karena, pohon dalam mitos adalah pengingat akan ketergantungan dan rasa takut yang suci. Sementara pohon dalam narasi kapitalisme hijau hanyalah unit transaksi-simbol betapa kita telah menjual rasa takut suci itu, dan menggantinya dengan ketakutan palsu akan rugi materi.
“Dulu, pohon-pohon besar Keramat dijaga dengan sesajen sederhana hasil bumi. Kini, pohon yang sama ‘dilindungi’ dengan skema karbon kredit yang rumit, sementara anak cucunya di desa tak lagi boleh mengambil air dan buahnya karena telah menjadi milik suatu konsorsium.”
“Maka: Apakah kita akan menciptakan mitos-mitos baru yang memulihkan keramat itu, ataukah kita akan membiarkan diri kita menjadi hantu-hantu yang berkeliaran di atas bumi yang telah kita sendiri gunduli?”
Entahlah…
La Ode Muhamad Yuslan
Sang Pengamat kemungkinan-kemungkinan
