Hiruk Pikuk Persoalan Kavling Laut di Kota Makassar

IKOLOM.NEWS, MAKASSAR – Polemik kavling laut yang terjadi di Tangerang, Banten, menguak perkara yang sama terjadi di Kota Makassar, Sulawesi Selatan.

Beragam informasi yang dihimpun, kavling laut di Tangerang berupa pagar sepanjang 30 kilometer, sedangkan kavling laut yang terjadi di Makassar digambarkan berupa fondasi bebatuan di daerah perairan Kec. Tamalate dan Mariso.

Ada dugaan kalau polemik yang terjadi di laut Kota Daeng itu berkaitan dengan kepemilikan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) milik PT Dillah Group.

Sehingga terbitnya SHGB milik PT Dillah Group di kawasan reklamasi Jalan Metro Tanjung Bunga menuai polemik.

SHGB tersebut diduga terbit saat lokasi itu masih berupa laut, sekitar tahun 2015. Sementara, Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Selatan baru diterbitkan pada 2022, yang menetapkan garis rencana reklamasi mencakup kawasan tersebut.

Ketua Forum Komunitas Hijau (FKH), Ahmad Yusran, menyebut bahwa sebagian lahan milik PT Dillah Group sebelumnya merupakan perairan. Berdasarkan penelusuran Google Earth, pada 2015 kawasan itu masih berupa laut dengan bentuk persegi panjang yang menjorok ke laut.

“Audit tata ruang ini sangat penting,” kata Yusran beberapa waktu lalu, dikutip dari fajar.co.id.

“Histori dalam sebuah bidang, baik itu tanah. Itu terekam,” terangnya.

Kepala Seksi Penanganan Masalah ATR/BPN Makassar, Andrie Saputra, membenarkan adanya SHGB di kawasan tersebut. Namun, ia menolak mengungkap pemilik serta tahun penerbitannya karena informasi tersebut bersifat terbatas. Menurut Andrie, BPN hanya dapat mengukur dan menerbitkan sertifikat setelah kawasan reklamasi selesai ditimbun.

“Mengenai terbitnya kapan, namanya siapa, mohon maaf itu masuk ke dalam informasi yang terbatas. Karena itu terkait haknya orang perorang. Tidak bisa kami beritahukan,” kata Andrie beberapa waktu lalu.

Namun Dillah Group melalui pengacaranya, Gazali Abd. Rachman, membantah tuduhan tersebut. Ia menjelaskan bahwa perusahaan memperoleh lahan itu pada 2013 dari PT Megasurya Nusalestari, dengan bukti penguasaan sporadik. Sebagian lahan sudah berbentuk daratan dan telah memiliki izin reklamasi sejak 2011 dan 2013.

“Bukti pendukung selain itu ada namanya sporadik, ada bukti penguasaan tanah garapan di situ. Dari lurah dan camat, lurah Tamalate, Maccini Sombala, RT dan RW,” ucap Gazali, Jumat (31/1/2025).

SHGB diajukan setelah proses pematangan lahan yang dilakukan pada April hingga Juli 2024, dengan sertifikat diterbitkan pada September 2024 untuk lahan seluas 7,5 hektare. Gazali menegaskan lahan tersebut sudah berupa daratan saat SHGB diterbitkan. Ia juga menyebut bahwa luas lahan reklamasi yang dimiliki Dillah Group hanya 7,5 hektare, bukan 23 hektare sebagaimana disebutkan oleh FKH.

Sementara itu, sebagai Pj Gubernur Sulsel, Prof Fadjry Djufry mengaku belum memiliki informasi rinci terkait kasus ini, tetapi menegaskan bahwa semua aktivitas harus sesuai regulasi dan izin yang berlaku. Jika ditemukan pelanggaran, pemagaran atau aktivitas lainnya akan dibongkar.

“Bagi kami Pemprov, akan dilihat kembali terkait dengan izin-izinnya yang sudah ada di sana. Kalau belum ada izin peruntukannya pasti kita bongkar, kalau memang tidak memenuhi regulasi yang ada,” tandasnya.

Sampai berita ini terbit, belum ada penjelasan yang pasti dari semua pihak terkait.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *