Penulis: Hendrawan R. Wijaya (Mantan Ketua Umum HMI Koms Budaya Unhas)
IKOLOM.NEWS, MAKASSAR – Sejak berdiri pada 5 Februari 1947, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) telah menjadi sokongan moral dan intelektual bagi perjalanan bangsa Indonesia.
Organisasi ini lahir dari rahim perjuangan melawan kolonialisme, tumbuh sebagai garda depan gerakan mahasiswa yang kritis, dan menjadi pengawal demokrasi pasca-Reformasi 1998. Namun, dalam dua dekade terakhir, HMI kerap dihadapkan pada tuduhan kehilangan roh independensinya. Data menunjukkan puluhan alumni HMI menduduki jabatan strategis di pemerintahan, parlemen, hingga partai politik.
Pada 2024, setidaknya 15% anggota DPR-RI terafiliasi dengan kaderisasi HMI, sementara beberapa menteri kabinet saat ini adalah mantan ketua cabang atau pengurus nasional. Hal kemudian menimbulkan pertanyaan kritis: Apakah HMI telah menjelma-jadi mesin pencetak elite, alih-alih tetap menjadi kekuatan penyeimbang yang mengawal etika kebijakan publik?
Kedekatan dengan kekuasaan bukanlah dosa, selama prinsip “kebangsaan, keumatan, dan progresifitas kemahasiswaan” tetap menjadi kompas. Namun, ketika HMI gagal mengkritik kebijakan kontroversial yang justru dilihat sambil lalu oleh kader-kadernya di pemerintahan—seperti pelemahan KPK, pembiaran deforestasi, atau pengesahan UU yang sarat kepentingan oligarki—organisasi ini terjebak dalam paradoks.
HMI Tidak Lagi Relevan?
Setiap akan menggelar basic training (LKI), perkaderan terluhur, pamflet-pamflet yang berisi foto kakanda dan yunda alumni HMI yang telah masuk dalam tubuh birokrasi dijadikan totem tersendiri, dan juga yang telah meninggal, dicetak agar mahasiswa tertarik bergabung ke HMI.
Hal ini secara gamblang, menyatakan tidak ada lagi gerakan tambahan yang bisa dilakukan HMI, untuk mengajak gabung para calon kader, selain mencitrakan senior sebagai totem. Tak heran kalau dalam benak calon-calon kader, yang terlintas adalah HMI itu mampu mengangkat derajat sebelum meninggal. Menjadi tokoh, kemudian almarhum.
Atas dasar itu ragam mahasiswa menganggap HMI tidak lagi relevan sebagai gerakan moral, sementara dominasi alumni HMI di tingkat lokal mengakui adanya niat untuk “menyamakan visi” dengan kepentingan partai politik tertentu. Sungguh, kepala-kepala konservarif. Di sinilah krisis legitimasi bermula. HMI dianggap lebih sibuk merawat jaringan kekuasaan ketimbang membela suara kaum tertindas.
Dalam mitologi Yunani, Icarus—pemuda yang terbang mendekati matahari dengan sayap dari lilin—menjadi simbol arogansi dan kehancuran akibat melanggar batas. Ayahnya, Daedalus, telah memperingatkan agar tidak terbang terlalu tinggi atau terlalu rendah. Tapi Icarus, terbuai euforia, mengabaikannya. Lilin pun meleleh, dan ia jatuh ke laut.
Ketika HMI terlalu dekat dengan kekuasaan, ia kehilangan kemampuan untuk melihat ketimpangan dari ketinggian yang seharusnya. Ia lupa bahwa peran utamanya bukan menjadi bagian dari menara gading kekuasaan, melainkan menjadi mercusuar yang menerangi kegelapan dari kejauhan.
Memperingati milad HMI ke 78 Tahun, harus jadi momentum refleksi. HMI perlu kembali ke khittahnya, membangun kader yang bukan hanya pintar bermain di gelanggang kekuasaan, tetapi juga berani menggoyangnya ketika zalim.
Seperti Ayah Icarus yang selamat karena terbang pada ketinggian moderat, HMI harus menemukan kembali jarak ideal dari kekuasaan—tidak menjauhinya, tetapi juga tidak terlena dalam pelukannya. Sebab, sejarah melukiskan, organisasi yang bertahan adalah yang tetap setia pada suara hati nurani, bukan bisik-bisik istana.