IKOLOM.NEWS, NASIONAL – Para pengusaha ayam petelur di Indonesia menyanggupi ekspor hingga 160 juta butir telur setiap bulan ke negara-negara yang tengah dilanda krisis harga telur ayam atau “eggflation”, termasuk Amerika Serikat.
Langkah ini sejalan dengan rencana pemerintah yang akan mengekspor 1,6 juta butir telur per bulan ke Negeri Paman Sam guna mengatasi kelangkaan stok telur di sana.
BACA JUGA:
Wali Kota Makassar Tetap Gelar Open House Idulfitri 1446 H
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas Indonesia (GPPU), Ahmad Dawami, mengungkapkan bahwa produksi telur nasional saat ini mencapai 14.000 ton atau sekitar 14 juta kilogram per hari. Ia menegaskan bahwa pasokan telur dalam negeri tetap aman meskipun ekspor meningkat hingga 160 juta butir per bulan.
“Kalau misalkan ada ekspor 1,6 juta butir per bulan ke Amerika, itu tidak signifikan. Kalau bisa 16 juta atau bahkan 160 juta butir per bulan, malah lebih baik,” ujar Dawami pada Rabu (26/3/2025) mengutip Bisnis.com.
Ia menambahkan bahwa semakin tinggi angka ekspor, maka akan semakin baik bagi perekonomian Indonesia. Oleh karena itu, ia mendorong pemerintah untuk berperan aktif dalam inisiasi ekspor ini.
Dawami menjelaskan bahwa produksi telur ayam dapat ditingkatkan sesuai dengan permintaan pasar. Jika permintaan meningkat, produksi pun bisa digenjot dengan menambah pemeliharaan ayam petelur.
“Meningkatkan produksi telur ayam sebenarnya tidak sulit. Dengan menambah jumlah ayam petelur dan memperpanjang umur pemeliharaan, jumlah telur yang dihasilkan akan bertambah,” jelasnya.
Namun demikian, proses ekspor telur ke negara yang mengalami eggflation seperti Amerika Serikat bukanlah hal yang mudah. Dawami menekankan bahwa terdapat sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi agar telur ayam dari Indonesia dapat diterima di pasar internasional.
“Peluang ekspor memang besar, tetapi ekspor tidak bisa dilakukan begitu saja. Diperlukan kesepakatan skema government-to-government (G2G) antara kedua negara. Selain itu, ada survei dan pengecekan terkait biosecurity ayam petelur, kualitas telur, higienitas, hingga keamanan produk,” paparnya.
Dawami juga menyoroti perbedaan preferensi konsumen di Amerika dan Eropa yang umumnya lebih menyukai telur berwarna putih, sedangkan di Indonesia telur ayam berwarna coklat.
“Merubah kebiasaan konsumen bukan perkara mudah,” imbuhnya.
Dengan potensi ekspor yang besar, pemerintah dan pelaku usaha diharapkan dapat bersinergi untuk memenuhi kebutuhan global serta meningkatkan daya saing produk unggas Indonesia di pasar internasional.