Investasi EBT Indonesia Masih Jauh dari Target Iklim Nasional

Ikolom.Jakarta – Investasi energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia masih jauh dari kebutuhan untuk mencapai target iklim nasional.

Temuan itu tertuang dalam pembaruan Dasbor Pembiayaan Sektor Ketenagalistrikan Indonesia 2019–2023 yang dirilis Climate Policy Initiative (CPI).

Direktur CPI Indonesia, Tiza Mafira, mengatakan total investasi sektor ketenagalistrikan selama lima tahun terakhir mencapai 38,02 miliar dolar AS, atau rata-rata 7,6 miliar dolar AS per tahun.

“Transisi energi Indonesia terus bergerak maju, namun keberhasilannya tidak hanya bergantung pada seberapa besar investasi yang dapat dimobilisasi, tetapi juga pada ke mana dan bagaimana investasi tersebut mengalir,” ujarnya di Jakarta, Jumat (31/10/2025). dilansir dari laman berita kompas.com

Jumlah itu masih kurang dari setengah kebutuhan investasi tahunan sebesar 19,4 miliar dolar AS untuk memenuhi target penurunan emisi sesuai Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC) 2030.

Rata-rata investasi tahunan untuk EBT hanya 1,79 miliar dolar AS, jauh di bawah kebutuhan 9,1 miliar dolar AS. Sebaliknya, investasi untuk bahan bakar fosil mencapai 2,55 miliar dolar AS per tahun.

CPI juga mencatat sekitar 10,63 miliar dolar AS investasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara selama periode 2019–2023 belum tercatat resmi. Kondisi ini menunjukkan masih lemahnya transparansi data investasi energi di Indonesia.

Pembiayaan swasta mendominasi sektor ketenagalistrikan dengan porsi 73,72 persen. Namun, 59,25 persen di antaranya masih untuk proyek berbasis fosil. Sumber dana terbesar berasal dari Tiongkok sebesar 2,48 miliar dolar AS dan Korea Selatan sebesar 1,52 miliar dolar AS.

Untuk EBT, 55 persen pembiayaan berasal dari dalam negeri, terutama untuk proyek panas bumi dan tenaga air. Tren positif muncul pada investasi tenaga surya dan angin yang meningkat dari 0,03 miliar dolar AS pada 2019 menjadi 0,68 miliar dolar AS pada 2023.

CPI juga menyoroti efisiensi portofolio energi PLN. Biaya operasional per kWh untuk pembangkit fosil tercatat tinggi, seperti diesel Rp 2.541, gas Rp 1.450, dan batu bara Rp 603. Sebaliknya, energi terbarukan lebih efisien, seperti panas bumi Rp 977 dan tenaga air Rp 110.

Rendahnya investasi pada energi baru terbarukan (EBT) menunjukkan masih kuatnya ketergantungan Indonesia terhadap sumber energi fosil, meskipun biaya operasional EBT terbukti lebih efisien.

Ketimpangan aliran investasi ini memperlambat transisi energi dan berpotensi menghambat pencapaian target NDC 2030.

Keterbatasan transparansi data, terutama pada investasi PLTU batu bara, juga mengindikasikan perlunya sistem pelaporan dan pemantauan yang lebih terbuka.

Pemerintah perlu memperkuat regulasi insentif fiskal, kemudahan perizinan, serta meningkatkan peran lembaga keuangan domestik untuk mendorong investasi hijau.

Selain itu, kolaborasi internasional seperti pendanaan berbasis iklim dan skema Just Energy Transition Partnership (JETP) harus dioptimalkan agar pembiayaan EBT dapat meningkat dan distribusi investasinya lebih seimbang di seluruh wilayah Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *