IKOLOM.NEWS, INTERNASIONAL – Kanselir Jerman Friedrich Merz melontarkan kritik paling tajam terhadap Israel sejak memanasnya kembali konflik di Jalur Gaza. Dalam konferensi pers yang digelar di Turku, Finlandia, Selasa (27/5/2025), Merz menyatakan bahwa serangan militer besar-besaran Israel terhadap wilayah tersebut “tidak lagi dapat dipahami” dan “tidak lagi dapat dibenarkan” sebagai bagian dari perang melawan Hamas.
Pernyataan itu menandai perubahan besar dalam posisi publik Jerman, yang selama ini dikenal sebagai pendukung kuat Israel karena komitmen sejarah pasca-Holocaust. Namun, tekanan dari opini publik, partai koalisi, dan sejumlah pejabat senior kini mendorong perubahan sikap pemerintah.
“Serangan militer besar-besaran Israel di Jalur Gaza tidak menunjukkan logika apa pun bagi saya. Bagaimana itu bisa melayani tujuan memerangi teror? Dalam hal ini, saya sangat, sangat kritis,” ujar Merz, dikutip Reuters.
BACA JUGA:
Sidang Hasto Kristiyanto: Saksi Kunci Dinilai Perkuat Dugaan Suap dan Perintangan Penyidikan
Merz bukan satu-satunya tokoh yang mengkritik kebijakan Israel. Menteri Luar Negeri Johann Wadephul dan mitra koalisi dari Partai Sosial Demokrat (SPD) sebelumnya telah menyerukan penghentian ekspor senjata ke Israel untuk mencegah keterlibatan Jerman dalam potensi kejahatan perang.
Meski Merz tidak secara langsung menanggapi pertanyaan terkait ekspor senjata, seorang pejabat pemerintah menyatakan bahwa keputusan tersebut berada di tangan Dewan Keamanan yang dipimpin langsung oleh Kanselir.
Pergeseran sikap ini, meski belum berarti pemutusan hubungan, dianggap signifikan mengingat kebijakan luar negeri Jerman selama puluhan tahun diwarnai oleh Staatsräson, atau doktrin tanggung jawab khusus terhadap keselamatan negara Israel.
Sebelumnya, pemerintahan Merz bahkan tetap mendukung kedatangan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu ke Berlin, meskipun ada surat perintah penangkapan dari Pengadilan Kriminal Internasional (ICC). Sebuah foto pantai Zikim—lokasi pendaratan militan Hamas saat serangan 7 Oktober 2023—masih terpajang di kantor Kanselir sebagai simbol solidaritas terhadap Israel.
Namun, serangan udara Israel dalam beberapa hari terakhir yang menyebabkan puluhan korban jiwa dan memperburuk krisis kemanusiaan di Gaza telah meningkatkan tekanan terhadap Berlin. Situasi ini juga tercermin dalam survei opini publik.
Jajak pendapat Civey yang dipublikasikan Tagesspiegel menunjukkan bahwa 51% warga Jerman menolak pengiriman senjata ke Israel. Sementara itu, laporan dari Bertelsmann Foundation menunjukkan hanya 36% masyarakat Jerman yang memiliki pandangan positif terhadap Israel—turun drastis dibandingkan 46% pada 2021.
Dalam konteks tanggung jawab sejarah, hanya 25% warga Jerman yang merasa negaranya masih memiliki kewajiban khusus terhadap Israel. Sebaliknya, 64% warga Israel masih memandang bahwa Jerman memiliki tanggung jawab moral pasca-Holocaust.
Situasi ini mendorong Komisaris Antisemitisme Jerman, Felix Klein, untuk menyerukan evaluasi ulang terhadap sikap Berlin. Ia menegaskan bahwa Holocaust tidak bisa dijadikan pembenaran atas segala tindakan Israel saat ini.
Sejarawan Israel Moshe Zimmermann menilai perubahan ini mencerminkan tren global, meski elit politik Jerman masih dibayangi trauma sejarah.
“Elit politik masih terjebak dalam pelajaran Perang Dunia II secara satu dimensi. Namun kini, tekanan dari bawah memaksa mereka berpikir ulang,” katanya.
Di tingkat internasional, Uni Eropa tengah meninjau ulang kebijakannya terhadap Israel. Inggris, Prancis, dan Kanada bahkan mengancam akan mengambil langkah konkret jika kekerasan di Gaza tidak segera dihentikan.
Duta Besar Israel untuk Jerman, Ron Prosor, belum memberikan respons langsung atas kecaman Merz, namun mengakui adanya keprihatinan dari Berlin.
“Ketika Friedrich Merz menyampaikan kritik terhadap Israel, kami mendengarnya dengan sangat serius, karena ia adalah seorang sahabat,” ujar Prosor kepada stasiun TV ZDF.