Ikolom.Bulukumba – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan klarifikasi terkait penyitaan sejumlah uang asing yang sebelumnya dilakukan saat pemeriksaan tiga saksi dalam perkara dugaan korupsi kuota haji. Lembaga antirasuah tersebut menegaskan bahwa uang tersebut berasal dari pihak penyelenggara ibadah haji khusus (PIHK) atau biro perjalanan haji, bukan dari pejabat Kementerian Agama.
Mengutip laporan inilah.com, Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menjelaskan bahwa penyitaan dilakukan di Yogyakarta pada 23 Oktober 2025 saat pemeriksaan tiga saksi yang terkait penyidikan kasus dugaan korupsi penetapan kuota dan pelaksanaan ibadah haji tahun 2023–2024.
Ketiga saksi itu terdiri atas dua perwakilan biro perjalanan haji berinisial LWS dan MM, serta Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kemenag) Daerah Istimewa Yogyakarta, Ahmad Bahiej.
“Penyitaan sejumlah uang dalam bentuk mata uang asing atas pemeriksaan di wilayah Yogyakarta itu dilakukan kepada pihak-pihak biro travel (biro perjalanan haji, red.) atau PIHK,” ujar Budi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (29/10/2025).
Ia menambahkan, tidak ada uang asing yang disita dari Kakanwil Kemenag DIY, Ahmad Bahiej. “PIHK,” tegas Budi.
KPK diketahui mulai menyidik perkara dugaan korupsi penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji sejak 9 Agustus 2025, setelah dua hari sebelumnya memeriksa mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.
Dalam proses penyidikan, KPK juga berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk menghitung potensi kerugian keuangan negara. Berdasarkan temuan awal, kerugian negara diperkirakan mencapai lebih dari Rp1 triliun. KPK pun telah mencegah tiga orang bepergian ke luar negeri, termasuk Yaqut.
Pada 18 September 2025, KPK mengungkap adanya dugaan keterlibatan sekitar 13 asosiasi dan lebih dari 400 biro perjalanan haji dalam perkara ini.
Sementara itu, Panitia Khusus (Pansus) Angket Haji DPR RI juga menemukan sejumlah kejanggalan dalam penyelenggaraan haji tahun 2024. Salah satu temuan utama berkaitan dengan pembagian kuota tambahan sebesar 20.000 yang diberikan Pemerintah Arab Saudi.
Kementerian Agama saat itu membagi tambahan kuota tersebut menjadi 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus, atau perbandingan 50:50. Padahal, Pasal 64 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 menyebut bahwa porsi haji khusus seharusnya hanya delapan persen, sedangkan haji reguler mencapai 92 persen.