Headlines

Mafia Beras Terungkap, Harga Melonjak, Rakyat Tercekik

Ikolom.News – Lonjakan harga beras yang kian mencekik kantong masyarakat ternyata tidak semata karena distribusi yang tidak optimal.

Di balik mahalnya harga beras premium dan medium, aparat menemukan adanya praktik curang yang dilakukan oleh pelaku usaha nakal.

Dikutip dari laman berita Kompas.Com, Satuan Tugas (Satgas) Pangan Polri mengungkap sedikitnya 20 perkara penyimpangan beras dan menetapkan 26 tersangka. Kasus-kasus itu kini ditangani Bareskrim Polri dan 10 polda di sejumlah daerah, terutama Jawa Barat dan Jawa Timur yang mencatat jumlah tersangka terbanyak.

“Prosesnya masih tahap penyidikan. Dari 20 perkara itu, kami telah menetapkan 26 tersangka,” ujar Wakil Kepala Satgas Pangan Polri, Kombes Zain Dwi Nugroho, dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah yang digelar Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Selasa (19/8/2025).

Menurut Zain, ada tiga modus utama yang dijalankan para pelaku. Pertama, memperdagangkan beras dengan kualitas di bawah standar meski label kemasan menyebut sebaliknya.

Kedua, mengemas ulang beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) milik Bulog dengan beras curah, lalu menjualnya dengan harga SPHP resmi. Ketiga, membuka kemasan SPHP dan menjualnya kembali sebagai beras premium dengan harga lebih mahal.

Praktik-praktik manipulasi ini merugikan masyarakat dan merusak mekanisme pasar. Selain merampas hak konsumen, ulah pelaku juga mengganggu program pemerintah dalam menjaga ketersediaan beras dengan harga terjangkau.

Meski pemerintah beberapa kali menyatakan harga beras mulai terkendali, kondisi di lapangan justru sebaliknya.

Berdasarkan catatan Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok (SP2KP) Kementerian Perdagangan yang diolah Badan Pusat Statistik (BPS), pada pekan kedua Agustus 2025 harga rata-rata nasional beras medium di Zona I tercatat Rp 14.012 per kilogram dan premium Rp 15.435 per kilogram.

Angka tersebut lebih tinggi dibanding Juli 2025 yang masih Rp 13.853 per kilogram untuk medium dan Rp 15.310 per kilogram untuk premium. Keduanya jelas sudah melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET). Situasi serupa juga terjadi di Zona II, dengan harga medium Rp 14.875 per kilogram dan premium Rp 16.625 per kilogram, naik dari bulan sebelumnya.

Pengamat pertanian, Khudori, menilai ada tiga sebab utama mengapa harga beras sulit turun. Pertama, operasi pasar atau Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) Perum Bulog belum berjalan efektif.

Dari 14 Juli – 19 Agustus 2025, Bulog baru menyalurkan 226.005 ton beras SPHP, rata-rata hanya 1.211 ton per hari. Jumlah ini terlalu kecil untuk menekan harga di tengah pasar yang sedang “lapar” beras.

Kedua, Bulog masih agresif menyerap gabah dari petani lewat skema maklun. Dengan posisi dominan, Bulog hampir selalu menang dalam perebutan gabah, meski harga sudah mencapai Rp 8.000 per kilogram, jauh di atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Rp 6.500 per kilogram. Alhasil, harga gabah semakin melambung dan mendorong harga beras ikut naik.

Ketiga, produksi beras nasional memang tengah turun mengikuti pola musiman. Data Kerangka Sampel Area (KSA) BPS menunjukkan surplus beras pada Juli, Agustus, dan September masing-masing hanya 0,22 juta ton, 0,48 juta ton, dan 0,56 juta ton, jauh lebih rendah dibanding surplus pada Maret dan April yang mencapai 2,64 juta ton.

Menurutnya, pemerintah perlu mengambil langkah lebih berani untuk meredam lonjakan harga.

Pertama, mempercepat penyaluran SPHP agar beras murah mengalir deras ke pasar dengan pengawasan ketat guna mencegah penyelewengan.

Kedua, menghentikan penyerapan gabah Bulog melalui skema maklun dan mengalihkan fokus pada penyaluran stok yang kini menumpuk hingga 4 juta ton di gudang.

Selain itu, ia menilai pemerintah harus meninjau ulang HET beras yang sudah tak sejalan dengan harga gabah di lapangan.

Dampak dari ulah mafia beras ini langsung dirasakan masyarakat. Kris, karyawan swasta di Cipayung, Jakarta Timur, mengaku terkejut ketika harga beras premium yang biasanya Rp 74.000 per kemasan 5 kilogram, melonjak menjadi Rp 103.000.

“Sebetulnya kemarin belanja bulanan, pas di bagian beras, yang biasanya Rp 74.000 hampir semua merek, kok sekarang Rp 103.000. Agak kaget juga,” ucap Kris kepada Kompas.com beberapa waktu lalu.

Kenaikan hampir 33 persen itu terasa menekan, apalagi disertai pembatasan pembelian hanya 5 kilogram per orang. Kris yang biasanya membeli tiga karung untuk stok bulanan kini harus memutar otak mencari tambahan pasokan.

“Naiknya mencekik buat kelas menengah,” paparnya.

Dea, ibu rumah tangga di Depok, punya cerita serupa. Akhir Juli lalu, ketika stok beras di rumah habis, ia mencoba belanja ke ritel modern. Namun harga yang ditemui membuatnya terperangah. Beras premium kemasan 5 kilogram sudah tembus Rp 80.000, jauh dari harga biasanya.

Dea bahkan menyebut harga beras premium di ritel besar sudah “gila”. Ia pun beralih belanja ke aplikasi daring karena selisih harga, meski tipis.

Kenaikan harga beras bukan semata soal pasokan atau distribusi, melainkan juga disebabkan oleh praktik curang para pelaku usaha dan lemahnya pengawasan. Mafia beras memainkan peran besar dalam mengacaukan pasar melalui pemalsuan kualitas, pengemasan ulang, dan penjualan beras subsidi dengan harga premium.

Kondisi ini memukul langsung masyarakat, terutama kelas menengah dan bawah, yang harus menanggung beban kenaikan harga hingga 30% lebih. Pembatasan pembelian hanya memperparah keresahan karena masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan dasar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *