Headlines

Misteri Terminal Lucidity: Kilasan Kesadaran Menjelang Ajal

Oleh: dr Wachyudi Muchain SKed SH M.Kes CMed (Dokter Koboi)

IKOLOM.NEWS, OPINI – Di tengah denyut teknologi medis yang terus berkembang, ada satu fenomena yang masih menyisakan misteri dan haru: terminal lucidity. Ia adalah momen langka ketika seseorang yang tampak tak lagi sadar, bahkan telah dianggap berada di ambang kematian, tiba-tiba kembali sadar. Bicara. Tersenyum. Bahkan memberi pesan terakhir yang menyentuh hati.

BACA JUGA:


Pemprov Sulsel Gelar Pangan Murah di Tallo, Jaga Daya Beli Warga


Sebagai seorang dokter, saya telah beberapa kali menyaksikan momen seperti ini. Pasien yang semula tak mengenali siapa pun, tak berbicara dan tampak hanya menunggu waktu, mendadak menyapa anaknya, menggenggam tangan, dan bertanya dengan lembut, “Kamu sudah makan, Nak?” Pertemuan sejenak itu, bagi keluarga, terasa lebih berharga daripada seribu pertemuan sebelumnya.

Fenomena ini tidak hanya mengejutkan secara klinis, tetapi juga menggugah secara batin. Apa sebenarnya yang terjadi di saat-saat terakhir seseorang, hingga kesadaran seakan kembali sebelum benar-benar pergi?

Ilmu kedokteran mencoba menjelaskannya lewat teori kimia otak dan aliran darah terakhir. Dopamin, serotonin, atau mekanisme pertahanan tubuh yang mencoba memusatkan energi ke pusat memori dan emosi. Namun, apakah semua bisa dijelaskan dengan biologi semata?

Sebagian lain percaya bahwa mungkin, ada ruang spiritual yang terbuka sekejap. Sebuah jendela antara dunia ini dan akhirat. Dalam jendela itu, jiwa menyampaikan salam perpisahan. Momen ini seperti lilin yang menyala paling terang sebelum padam—dan justru di titik terang itulah manusia kembali menjadi dirinya yang paling murni: sadar, penuh cinta, dan siap pulang.

Terminal lucidity mengajarkan kita bahwa akhir hayat bukan selalu tentang kesakitan dan kehilangan. Ia bisa menjadi titik temu, bukan hanya perpisahan. Dalam pelukan terakhir, dalam kalimat “Aku sayang kamu,” ada peristiwa besar yang terjadi—sebuah penutupan yang indah dari kisah kehidupan.

Sebagai dokter dan sebagai manusia, saya percaya bahwa momen-momen seperti ini adalah pengingat untuk hidup lebih bermakna. Untuk tidak menunda cinta, tidak menahan pelukan, tidak menyimpan kata-kata baik. Sebab siapa tahu, pertemuan kita berikutnya—adalah yang terakhir.

Semoga kita semua, saat waktu itu datang, dipanggil dalam keadaan terbaik: khusnul khotimah, dengan kesadaran penuh, wajah tenang, dan hati yang telah siap berpulang kepada Sang Pencipta, Allah SWT.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *