IKOLOM.NEWS, NASIONAL – Centre for Strategic and International Studies (CSIS) mengkritisi revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang baru saja disahkan. Menurut CSIS, revisi ini dinilai kurang transparan, minim partisipasi publik, dan berpotensi menyebabkan tumpang tindih kewenangan.
BACA JUGA:
Rupiah Tertekan Jelang Lebaran, Sentuh Level Terburuk dalam Sejarah
Dalam Media Briefing bertajuk “Catatan Pasca-Pengesahan Revisi UU TNI”, yang digelar pada Senin (24/3), para peneliti CSIS mengungkap berbagai catatan penting terkait permasalahan dalam revisi tersebut.
Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Arya Fernandes, menyoroti bahwa proses pembahasan dan pengesahan UU ini tidak dilakukan secara transparan dan kurang melibatkan masyarakat secara aktif.
“Terdapat tiga aspek permasalahan. Pertama, proses pembahasan dan pengesahan UU ini menunjukkan kurangnya transparansi dan minimnya partisipasi publik yang bermakna,” kata Arya Fernandes.
Arya juga menyoroti dominasi eksekutif dalam proses legislasi, yang seharusnya berjalan seimbang antara eksekutif dan legislatif.
“Prosesnya sangat berat di sisi eksekutif, padahal dalam sistem kita, kekuasaan legislasi seharusnya setara antara eksekutif dan legislatif, masing-masing 50%,” tambahnya.
Selain itu, ia menilai DPR belum konsisten dalam menerapkan prosedur pembuatan peraturan perundang-undangan secara ideal.
Militerisasi dalam Revisi UU TNI
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Nicky Fahrizal, menegaskan bahwa revisi UU TNI ini merupakan bentuk militerisasi dalam pemerintahan sipil Indonesia.
“Apa yang terjadi dalam revisi ini bukan sekadar militerisme, tetapi militerisasi. Militerisasi adalah proses memperbesar peran militer, sehingga ada peningkatan kendali militer dalam institusi sipil tertentu,” ujar Nicky.
Ia mencontohkan beberapa pasal yang menunjukkan indikasi militerisasi, seperti:
– Pasal 7 mengenai Operasi Militer Selain Perang (OMSP),
– Pasal 8 yang memperluas wilayah tugas TNI AD,
– Pasal 47 yang membuka lebih banyak ruang bagi TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil,
– Pasal 53 yang memperpanjang masa kerja anggota TNI.
Senada dengan itu, Pieter Pandie, Peneliti Departemen Hubungan Internasional CSIS, menyebutkan bahwa militerisasi ini berisiko menciptakan ketidakjelasan kewenangan dan tumpang tindih antara lembaga-lembaga negara.
“Penambahan peran baru, seperti keamanan siber dan perlindungan WNI di luar negeri, jika tidak diperjelas, justru akan membuka ruang kebingungan serta konflik antarlembaga. Pelibatan TNI dalam isu siber, misalnya, berisiko menjadikan pendekatan yang terlalu top-down dan semakin memperketat kontrol keamanan,” jelas Pieter.
CSIS menekankan bahwa revisi UU TNI perlu dikaji ulang agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap demokrasi, supremasi sipil, dan keseimbangan kewenangan dalam tata kelola pertahanan negara.