IKOLOM.NEWS, INTERNASIONAL — Situasi kemanusiaan di Gaza semakin memburuk. Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (UN OCHA) menyebut wilayah tersebut kini menghadapi tingkat kelaparan paling parah di dunia.
Melangsir AFP, juru bicara UN OCHA, Jens Laerke, menyatakan seluruh populasi Gaza kini berada dalam risiko kelaparan ekstrem.
“Ini adalah satu-satunya wilayah di dunia yang secara eksplisit seluruh penduduknya terancam kelaparan,” ujar Laerke dalam konferensi pers di Jenewa, Swiss, Jumat (30/5/2025).
BACA JUGA:
KPK Didesak Usut Dugaan Penyelundupan 5,3 Juta Ton Bijih Nikel ke China, Nama Bobby Nasution dan Airlangga Hartarto Disebut
Sejak perbatasan Kerem Shalom kembali dibuka sekitar 10 hari lalu, hampir 900 truk bantuan disetujui oleh Israel untuk masuk. Namun, hanya kurang dari 600 yang berhasil menyeberang ke sisi Gaza, dan jumlah yang benar-benar sampai ke warga jauh lebih sedikit. Laerke menyebut bantuan yang masuk bagaikan “tetesan air” di tengah bencana kelaparan.
“Ini seperti memberikan makanan setetes demi setetes kepada masyarakat yang berada di ambang bencana kelaparan,” tegasnya.
Laerke juga melaporkan bahwa sejumlah truk bantuan diserbu oleh warga yang putus asa saat perjalanan, mencerminkan kondisi darurat kemanusiaan yang makin memburuk. Ia menegaskan bahwa bantuan tersebut merupakan hak para warga karena telah dibayar oleh donor internasional.
Insiden tragis terjadi pada Rabu (28/5) ketika kerumunan orang menyerbu gudang Program Pangan Dunia (WFP) di Deir Al-Balah, Gaza tengah. Gudang tersebut menyimpan tepung gandum untuk beberapa toko roti. Dua warga dilaporkan tewas dalam kejadian tersebut.
Distribusi Bantuan Dikecam, Skema Baru AS-Israel Dianggap Gagal
Di tengah keterbatasan akses bantuan, AS dan Israel mendukung skema distribusi baru melalui entitas swasta Gaza Humanitarian Foundation (GHF). Namun, laporan dari Kantor Hak Asasi Manusia PBB (OHCHR) menyebut 47 warga Palestina tertembak oleh pasukan Israel ketika mencoba mengambil bantuan di Gaza Selatan pada Selasa (27/5).
Kepala OCHA untuk wilayah pendudukan Palestina, Jonathan Whittall, mengecam skema ini sebagai bentuk “kelangkaan yang direkayasa.” Ia menyebut model distribusi yang dijaga kontraktor keamanan swasta AS justru menimbulkan kekacauan dan tidak memenuhi kebutuhan warga.
“Penerima bantuan seharusnya ditentukan berdasarkan kebutuhan, bukan kemampuan berjalan berkilometer-kilometer ke titik distribusi,” ujar Laerke.
Ia juga memperingatkan bahwa meskipun seseorang berhasil mendapatkan bantuan, mereka tetap menghadapi risiko penjarahan saat keluar dari lokasi.
Israel Akui Kelaparan Bisa Ganggu Operasi Militer
Israel sendiri mulai mengizinkan masuknya bantuan pangan dengan alasan bahwa kelaparan bisa mengganggu kelanjutan Operasi Gideon’s Chariot, yaitu fase baru operasi darat di Gaza utara dan selatan.
Namun Laerke dan sejumlah pejabat PBB lainnya kembali menegaskan bahwa pengiriman bantuan harus dipercepat melalui seluruh jalur, termasuk dari Yordania dan Mesir, dan bahwa pengiriman langsung ke rumah warga adalah cara paling efektif dan manusiawi.
80 Persen Wilayah Gaza Jadi Zona Militer
Menurut UN OCHA, lebih dari 80 persen wilayah Gaza saat ini dikategorikan sebagai zona militer atau berada di bawah perintah evakuasi oleh militer Israel. Sejak runtuhnya gencatan senjata pada 18 Maret lalu, sekitar 635.000 warga Gaza kembali mengungsi, menambah penderitaan di tengah konflik yang terus berlangsung.
PBB menyerukan kepada seluruh pihak untuk membuka akses kemanusiaan secara penuh dan menjamin keselamatan warga sipil serta para pekerja bantuan.