IKOLOM.NEWS, NASIONAL – Kebangkitan perangkat berbasis kecerdasan buatan (AI) diyakini dapat membebaskan manusia dari ketergantungan terhadap smartphone. Namun, hal itu hanya mungkin terjadi jika ditemukan perangkat yang tepat dan mampu menghadirkan pengalaman digital yang lebih praktis dan personal.
Mengutip Fortune.com, AI diprediksi akan menjadi tulang punggung dalam berbagai sektor, termasuk dunia kerja. Sejumlah perusahaan kini berlomba mengembangkan perangkat tambahan bertenaga AI yang suatu saat mungkin akan menggantikan peran ponsel pintar.
Meski demikian, masa depan tanpa smartphone masih jauh dari kenyataan, mengingat beberapa perangkat AI terbaru belum mampu memenuhi ekspektasi.
BACA JUGA:
Transaksi Jemaah Haji dan Umrah RI Capai Rp128 Triliun, Airlangga Dorong Penguatan Bisnis Nasional di Timur Tengah
Salah satu perangkat yang menuai perhatian adalah Humane AI Pin, pin kecil seharga US$699 dengan biaya berlangganan US$24 per bulan. Perangkat ini dirancang untuk memproyeksikan gambar ke tangan pengguna dan menjadi alternatif ponsel. Namun, kinerjanya dinilai mengecewakan oleh para pengulas.
Lain halnya dengan Rabbit R1, perangkat seharga US$199 yang dapat menjawab pertanyaan dan mengenali objek melalui kamera. Meskipun menerima sambutan yang lebih baik, banyak pihak mempertanyakan fungsinya karena sebagian besar smartphone sudah memiliki fitur serupa.
Menurut Jack Leathem, analis riset dari Canalys, industri elektronik konsumen saat ini sedang mencari bentuk terbaik integrasi large language model (LLM) ke dalam perangkat keras. Hal ini menciptakan banyak eksperimen dalam upaya menemukan “resep sukses” untuk perangkat AI.
Kacamata, Earbud, dan Liontin AI: Menantang Batas Inovasi
Beberapa perusahaan memilih untuk mengembangkan perangkat AI yang fokus pada fungsi tertentu. Startup seperti Limitless dan Tab AI tengah mengembangkan liontin pintar yang mampu merekam dan mentranskripsikan percakapan.
Raksasa seperti Apple dan Google pun tak mau ketinggalan. Mereka mulai mengeksplorasi kemungkinan mengubah earbud dan gelang kebugaran menjadi perangkat AI. Apple, misalnya, dikabarkan tengah menguji integrasi kamera ke dalam AirPods untuk memungkinkan AI merespons secara lebih dinamis.
Salah satu pendekatan paling menjanjikan datang dari Meta melalui produk Ray-Ban Meta smart glasses, hasil kolaborasi dengan perusahaan kacamata EssilorLuxottica.
Kacamata ini memungkinkan pengguna merekam video, mendengarkan musik, dan—berkat pembaruan AI terbaru—mengakses fitur berbasis penglihatan seperti rekomendasi resep makanan hanya dengan melihat objek dan memberikan perintah suara.
Meskipun ulasan menunjukkan masih ada kekakuan dalam penggunaan, potensi AI multimodal seperti ini dianggap sangat besar. CTO Meta, Andrew Bosworth, menyebut perusahaan sedang menggandakan upaya untuk membangun ekosistem wearable AI yang kuat dan menarik bagi pasar luas.
Tantangan Harga dan Privasi
Meski memiliki potensi, tantangan besar tetap ada. Thomas Husson, analis dari Forrester, menyebut kacamata pintar masih tergolong produk niche, dan keberhasilan Meta belum tentu mencerminkan keunggulan teknologi. Kekhawatiran juga muncul terkait privasi, terutama jika data dari perangkat digunakan untuk iklan, mengingat bisnis utama Meta adalah periklanan.
Sementara itu, Brilliant Labs, perusahaan asal Singapura, menawarkan pendekatan berbeda lewat kacamata pintar Frame seharga US$349.
Perangkat ini menggunakan model AI dari OpenAI, Stability AI, dan Perplexity, serta mengusung filosofi open-source. CEO Bobak Tavangar menilai pendekatan seperti Meta yang mengandalkan iklan tidak cocok untuk perangkat yang sangat pribadi seperti AI wearable.
Meta belum memberikan keterangan resmi soal penggunaan data dari kacamata pintarnya untuk iklan. Namun laporan menyebut bahwa perusahaan tengah mempertimbangkan pembelian saham EssilorLuxottica sebesar 5 persen, mempertegas ambisinya dalam pasar perangkat AI.
Pada akhirnya, seiring berkembangnya teknologi, model bisnis akan menjadi faktor kunci selain desain perangkat keras. Tanpa pendapatan dari iklan, perusahaan mungkin harus menjual perangkat dengan harga tinggi atau menerapkan skema berlangganan untuk layanan AI mereka.
Dengan kata lain, AI mungkin mampu melakukan banyak hal menakjubkan—tapi belum bisa menghapus realitas ekonomi di balik perangkat yang menggunakannya.