Headlines

SEMMI Takakar Kecam Tindakan Represif Aparat, Desak Copot Kapolres dan Hentikan Panen Ilegal PTPN

Ikolom.Takalar – Ketua Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (SEMMI) Cabang Takalar, Zem Sukardi, menyuarakan kecaman keras terhadap tindakan represif aparat kepolisian yang terjadi saat pengamanan aktivitas panen tebu oleh PTPN I Regional 8 (dahulu PTPN XIV) di Kecamatan Polongbangkeng Utara, Kabupaten Takalar.

Menurut Zem, perlakuan aparat terhadap warga yang menolak pemanenan tersebut tidak hanya berlebihan, tetapi juga mencerminkan sikap yang tidak manusiawi.

“Kami merasa geram melihat warga diperlakukan layaknya hewan di tanahnya sendiri. Tindakan represif ini jelas mencederai rasa keadilan. Seharusnya aparat hadir sebagai pengayom, bukan justru menjadi pelindung korporasi,” tegas Zem dalam keterangannya kepada media, Sabtu (23/8).

Atas kejadian ini, SEMMI Cabang Takalar menegaskan akan menggelar aksi demonstrasi di Mapolres Takalar untuk menuntut pertanggungjawaban atas tindakan aparat di lapangan.

“Kami mendesak agar Kapolres Takalar dicopot dari jabatannya karena gagal memberikan arahan kepada anggotanya untuk bertindak secara humanis. Institusi Polri, khususnya Polres Takalar, seharusnya berdiri di tengah dan melindungi rakyat, bukan justru menindas mereka,” lanjutnya.

Dari sisi perusahaan, PTPN I Regional 8 (eks PTPN XIV) diduga melanggar UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), karena Hak Guna Usaha (HGU) yang dimilikinya telah berakhir pada 9 Juli 2024. Sesuai dengan PP No. 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB, dan Hak Pakai, khususnya Pasal 34 ayat (1), hak atas tanah otomatis hapus ketika jangka waktu HGU berakhir, sehingga tanah tersebut semestinya dikembalikan kepada negara untuk ditentukan status penggunaannya.

Lebih jauh, yurisprudensi Putusan MA No. 342 K/Sip/1975 juga memperkuat bahwa tanah dengan HGU yang telah berakhir dapat dikembalikan kepada rakyat sebagai tanah adat atau melalui program redistribusi tanah. Karena itu, pemanfaatan lahan oleh PTPN pasca berakhirnya HGU dianggap tidak sah secara hukum agraria.

Dari sisi aparat kepolisian, tindakan represif dalam pengamanan aktivitas panen tebu juga diduga melanggar UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 13 menegaskan tugas pokok Polri adalah memelihara keamanan, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan dan pengayoman kepada masyarakat.

Lebih jelas lagi, Pasal 19 ayat (1) mewajibkan Polri untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia, sedangkan Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 menekankan larangan penggunaan kekerasan berlebihan terhadap warga sipil. Dengan demikian, tindakan represif aparat jelas bertentangan dengan prinsip dasar institusi kepolisian.

Sementara itu, dari sisi warga yang menjadi korban, terdapat dugaan pelanggaran terhadap UUD 1945 Pasal 28G ayat (1) yang secara tegas menjamin hak setiap orang atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda.

Selain itu, dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 33 menyatakan bahwa setiap orang berhak memperoleh perlindungan dari penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi, sementara Pasal 36 menjamin hak masyarakat atas kepemilikan dan penguasaan tanah.

Dengan adanya tindakan represif aparat serta penggunaan lahan yang status hukumnya tidak jelas, hak-hak dasar masyarakat baik dari sisi kemanusiaan maupun agraria diduga kuat telah dilanggar. Hal ini menjadi sorotan serius SEMMI Cabang Takalar yang menuntut keadilan bagi warga setempat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *