Sistem Pilkada Dinilai Belum Lahirkan Pemimpin Negarawan

Ikolom.Jakarta – Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Bachtiar, menilai bahwa sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) yang berlaku saat ini belum mampu melahirkan sosok pemimpin yang memiliki sifat negarawan.

Menurutnya, pemimpin negarawan adalah figur yang tidak hanya berorientasi pada kepentingan politik jangka pendek, tetapi juga memiliki visi besar untuk kemajuan bangsa serta kesejahteraan masyarakat.

“Kasih saja contoh saya, 500 kepala daerah di Indonesia yang negarawan. Satu saja atau dua gitu. Sangat sulit kita mendapatkan itu,” ujar Bachtiar dalam diskusi panel peluncuran Indeks Prestasi Pilkada (IPP) 2024 yang diselenggarakan oleh KPU RI di Hotel Pullman Central Park, Jakarta Barat, seperti dikutip dari Tribunnews.com, Sabtu (18/10/2025).

Bachtiar menjelaskan, keberadaan kepala daerah yang memiliki karakter negarawan sangat penting. Sebab, dari posisi tersebut diharapkan nantinya muncul calon pemimpin yang bisa melanjutkan kiprah ke jenjang lebih tinggi, seperti legislator, menteri, hingga presiden.

“Hari ini kita tidak dapatkan itu dengan sistem yang kita buat,” tambahnya.

Yang dimaksud Bachtiar adalah sistem pemilihan langsung yang saat ini digunakan dalam pilkada, sementara untuk pemilihan legislatif diterapkan sistem proporsional terbuka.

Sebagai informasi, pilkada langsung merupakan mekanisme di mana masyarakat secara langsung memberikan suara untuk memilih gubernur, bupati, atau wali kota.

Menjelang pembahasan revisi Undang-Undang Pemilu, Bachtiar berharap agar sistem pemilihan langsung dan proporsional terbuka tersebut dikaji secara mendalam—apakah masih relevan untuk diterapkan dalam pemilu dan pilkada berikutnya atau tidak.

“Maka nanti ke depan ini kita akan membicarakan tentang revisi undang-undang pemilihan kepala daerah, terus terang, kita harus bicarakan serius ini, masih relevan kah tidak ini,” ujarnya.

“Faktanya sistem-sistem dengan model-model yang kita buat seperti ini, dengan (pemilihan) langsung seperti ini, ternyata tidak menghasilkan kepala daerah yang kita harapkan menjadi negarawan di tingkat daerah,” pungkasnya.

Sebagai catatan, sistem proporsional terbuka merupakan mekanisme di mana pemilih dapat secara langsung memilih calon legislatif (caleg). Sebaliknya, pada sistem proporsional tertutup atau terbuka terbatas yang pernah digunakan pada Pemilu 1999 dan 2004, masyarakat hanya memilih partai politik, bukan calon secara individu. Kursi kemudian ditentukan berdasarkan nomor urut caleg di partai tersebut.

Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008, sistem pemilihan legislatif berubah menjadi proporsional terbuka murni, di mana caleg dengan suara terbanyak dinyatakan terpilih. Sistem ini mulai diterapkan sejak Pemilu 2009 dan tetap digunakan hingga Pemilu 2024.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *