Ikolom.Jakarta – Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) selaku pendamping hukum Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen, menolak rencana penerapan restorative justice yang diusulkan Menteri HAM dalam kasus yang menjerat kliennya.
“Bagi kami, restorative justice tidak tepat dilakukan dalam penanganan perkara Delpedro dan kawan-kawan, siapa korbannya?” kata advokat Maruf Bajammal dalam konferensi pers di Gedung YLBHI, Jakarta Pusat, Sabtu (6/9/2025). Dilansir dari laman berita kompas.com
Maruf menilai, penjemputan Delpedro oleh polisi tanpa adanya laporan yang jelas justru menimbulkan kesan bahwa negara diposisikan sebagai korban. Namun, menurutnya, hal itu tidak tepat.
“Negara korbannya? Tentunya negara tidak pernah akan menjadi korban. Negara itu, dia selalu berpotensi menjadi pelaku pelanggar HAM,” ujarnya.
Bersama TAUD, ia mendesak kepolisian untuk segera menghentikan kasus yang dinilai tidak berdasar dan terkesan dipaksakan.
“Atas dasar itu, yang patut dilakukan dalam kasus Delpedro Marhaen dan kawan-kawan bukan restorative justice, tapi penghentian perkaranya,” tegas Maruf.
Sebelumnya, Menteri HAM Natalius Pigai tengah mempertimbangkan skema restorative justice untuk penyelesaian perkara Delpedro.
“Kalau itu (penangkapan) melibatkan civil society, kami akan beri atensi atau paling tidak jalan keluar yang kita lakukan adalah restorative justice,” ujarnya di Kantor Kementerian HAM, Jakarta, Selasa (2/9/2025)
Pernyataan ini juga sempat dibenarkan penyidik Polda Metro Jaya.
“Masukan agar penyelesaian masalah ini diselesaikan dengan skema restorative justice tentunya menjadi pertimbangan juga oleh penyidik,” kata Wakil Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya AKBP Putu Kholis Aryana di Mapolda Metro Jaya, Kamis (4/9/2025).
Sementara itu, dalam kasus terpisah, polisi telah menetapkan enam admin media sosial sebagai tersangka dugaan penghasutan anak di bawah umur untuk ikut aksi anarkistis di Jakarta. Mereka adalah DMR, MS, SH, KA, RAP, dan FL.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Ade Ary Syam Indradi menyebut keenam tersangka membuat konten yang mengajak pelajar turun ke jalan hingga menimbulkan kericuhan.
“Ada enam tersangka yang sudah kami tetapkan dan saat ini sedang dilakukan pemeriksaan terhadap tersangka,” ujar Ade Ary di Mapolda Metro Jaya, Selasa (2/9/2025) malam.
Menurut Ade Ary, para tersangka juga melakukan siaran langsung di media sosial saat aksi anarkistis berlangsung.
“Menyuarakan aksi anarkis dan ada yang melakukan live di media sosial inisial T sehingga memancing pelajar untuk datang ke gedung DPR/MPR RI sehingga beberapa di antaranya melakukan aksi anarkis dan merusak beberapa fasilitas umum,” kata dia.
Sikap Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) menolak skema restorative justice dalam kasus Delpedro Marhaen menyoroti persoalan mendasar: absennya pihak korban yang nyata.
Restorative justice umumnya diterapkan ketika ada hubungan antara pelaku dan korban yang dapat dipulihkan, sementara dalam perkara ini, negara justru diposisikan sebagai korban. Pandangan ini menegaskan adanya risiko penyalahgunaan konsep restorative justice sebagai alat legitimasi penindakan aparat.
Di sisi lain, pernyataan Menteri HAM dan kepolisian yang membuka peluang restorative justice memperlihatkan adanya tarik ulur pendekatan hukum antara represif dan kompromis.
Situasi ini kian kompleks dengan penetapan enam admin media sosial sebagai tersangka penghasutan, yang menunjukkan arah penegakan hukum pemerintah cenderung mengaitkan gerakan sipil dengan ancaman keamanan negara.
Dengan demikian, perdebatan mengenai kasus Delpedro tidak hanya soal prosedur hukum, tetapi juga menyentuh aspek hubungan negara dengan masyarakat sipil dalam konteks kebebasan berekspresi dan ruang demokrasi.