IKOLOM.NEWS, INTERNASIONAL– Perusahaan induk TikTok, ByteDance, dijatuhi denda sebesar 530 juta euro atau sekitar Rp9,8 triliun oleh Komisi Perlindungan Data Irlandia (DPC) karena terbukti melanggar peraturan perlindungan data pribadi Uni Eropa, General Data Protection Regulation (GDPR).
Mengutip laporan Engadget pada Sabtu (3/5/2025), denda ini merupakan yang ketiga terbesar dalam sejarah penegakan hukum GDPR. Rinciannya, 45 juta euro dikenakan atas pelanggaran transparansi, dan 485 juta euro atas transfer data ilegal ke China.
BACA JUGA:
Bupati Takalar Buka Muskerwil PKB Sulsel, Tegaskan Sinergi dan Komitmen Bangun Daerah
Dalam putusannya, DPC menyatakan TikTok telah mengirimkan data pengguna dari wilayah Uni Eropa ke China tanpa perlindungan yang memadai dari potensi pengawasan pemerintah China. Selain denda, TikTok diberi tenggat enam bulan untuk menghentikan praktik transfer data ilegal tersebut.
Investigasi DPC yang berlangsung selama empat tahun menemukan bahwa TikTok awalnya mengklaim tidak menyimpan data pengguna Wilayah Ekonomi Eropa (EEA) di China. Namun, pada Februari lalu, TikTok mengakui bahwa sebagian data pengguna memang disimpan di server di China—sebuah pengakuan yang bertentangan dengan pernyataan sebelumnya kepada regulator.
Wakil Komisaris DPC, Graham Doyle, menyatakan bahwa akses jarak jauh oleh staf TikTok di China terhadap data pengguna Eropa dilakukan tanpa jaminan perlindungan yang setara dengan standar Uni Eropa.
“Meskipun TikTok telah memberi tahu bahwa data tersebut kini telah dihapus, kami masih mempertimbangkan kemungkinan langkah regulasi lanjutan bersama otoritas perlindungan data Uni Eropa lainnya,” kata Doyle.
TikTok menyatakan keberatan atas keputusan ini dan berencana mengajukan banding. Perusahaan tersebut juga menyoroti bahwa putusan ini tidak mempertimbangkan sepenuhnya upaya privasi terbaru mereka, seperti Project Clover, yang mencakup pembangunan pusat data lokal di Eropa sejak 2023.
Namun, DPC menegaskan bahwa inisiatif tersebut telah diperhitungkan dalam putusan akhir.
Ini bukan kali pertama TikTok dikenai sanksi oleh DPC. Pada 2023, perusahaan itu didenda 368 juta dolar AS (sekitar Rp6 triliun) karena gagal melindungi data anak-anak dan remaja pengguna aplikasi.
Saat ini, Uni Eropa juga masih menyelidiki TikTok atas dugaan intervensi asing dalam pemilu, kebijakan verifikasi usia, algoritma adiktif, serta peluncuran TikTok Lite di Prancis dan Spanyol tanpa penilaian risiko yang memadai.