Headlines

Tren “Mahasiswi Cantik” Di Platform TikTok: Hiburan atau Objektifikasi?

Ikolom.Opini – Akhir akhir ini, muncul fenomena dalam sebuah platform media sosial khususnya tiktok yang menjadi tren dikalangan mahasiswa. Fenomena tersebut berangkat dari maraknya akun akun yang dibuat diberbagai perguruan tinggi yang memanfaatkan platform tiktok sebagai sarana mengunggah konten yang dimana konten tersebut sangat menonjolkan fisik dari seorang mahasiswi sebagai pusat perhatian. salah satu contohnya adalah akun yang dibuat di perguruan tinggi swasta yang ada di kota makassar tepatnya kampus Universitas Muslim Indonesia, salah satu akun tiktok dengan username @umicantik memanfaatkan platform tersebut sebagai media mengunggah beberapa konten terkait fisik perempuan yang di anggap masuk dalam kategori cantik.

Perempuan dan cantik adalah dua hal yang sudah melekat satu sama lain dapat dibuktikan dengan definisi cantik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu elok, molek, tentang wajah dan muka perempuan. Definisi ini tampak sederhana, namun menyimpan persoalan mendasar dimana sejak awal, kecantikan dikonstruksikan sebagai identitas utama perempuan seolah nilai mereka hanya sebatas paras dan penampilan. Namun selain identik dengan kecantikannya, perempuan juga kerap mendapat identitas yang berkonotasi  negatif misalnya ketika tampil menarik, mereka dianggap mencari perhatian sedangkan ketika tampil sederhana, mereka disebut tidak merawat diri. Standar ganda ini membuat perempuan terus berada di bawah sorotan publik, diukur, dibandingkan, bahkan dihakimi berdasarkan tubuh dan wajah mereka.

Ironisnya, media sosial kini menjadi panggung utama bagi penilaian semacam itu melalui platform seperti tiktok, muncul tren akun-akun yang dengan entengnya memilah mahasiswa berdasarkan kecantikan. Di balik konten yang dikemas sebagai hiburan, tersembunyi praktik objektifikasi yang mereduksi perempuan menjadi sekadar visual yang bisa dinilai dan dikomentari bahkan hal ini dapat melanggengkan objektifikasi perempuan dalam media.

Menurut GirlsBeyond, objektifikasi perempuan adalah penempatan tubuh perempuan secara seksual. Perempuan dianggap sebagai sebuah objek yang bisa dipandang dan dinilai tanpa memperhatikan pendapat dari pemilik tubuh. Objektifikasi perempuan juga  sangat erat kaitannya dengan standar kecantikan dimana perempuan yang dianggap memenuhi standar akan diagung-agungkan, sedangkan yang lain dibandingkan bahkan direndahkan. Hal ini bisa terjadi di mana saja, salah satunya di akun kampus cantik yang mengunggah konten-konten terkait foto mahasiswi.

Fenomena ini membuktikan bahwa standar kecantikan bukan hanya urusan selera, melainkan bentuk kontrol sosial atas tubuh perempuan. Mereka dituntut untuk selalu tampil sesuai selera publik, sementara hak untuk didefinisikan atas diri sendiri perlahan terampas karena terikat dengan standar yang dibangun oleh publik. Dibalik semua ini tanpa disadari atau bahkan dengan sadar kita hanya memandang ini adalah sebuah konten untuk seru seruan semata, kita menilai bahwa ketika masuk ke akun “umicantik” itu bukan sebuah masalah melainkan sebuah pujian contohnya setiap unggahan yang disajikan dalam konten tersebut tidak sedikit menuai pujian “asli cantiknya kalau ini”, “andalanku saya ini”, “wow umi nih bos nda pernah gagal mahasiswa”. Komentar komentar seperti itu menurut pandangan saya sangat membahayakan bagi perempuan perempuan lainnya, melihat dari beberapa komentar juga tidak sedikit akun akun yang menyorot akun “umicantik” tersebut untuk mempromosikan temannya agar di notice dan diunggah sebagai bahan untuk dikomsumsi dan menarik perhatian publik, sehingga secara tidak langsung hal ini akan membuat seseorang terus merasa terobsesi untuk menjadi seperti yang diinginkan oleh publik dan tentu jelas melanggengkan pelebelan yang melekat dalam budaya patriarki bahwasanya perempuan hadir untuk dipandang sebagai objek bukan sebagai manusia utuh yang memiliki perasaan, pikiran, dan martabat.

Selain itu dampaknya juga mengarah pada ketidakpuasaan dalam memandang dan menerima diri karena aspek yang diperhatikan dan dirawat hanya pada ranah fisik saja sehingga dari segi kepribadian, potensi, presetasi dan bakat yang ada dalam diri kita semata mata dipandang tidak penting. Sangat jelas, saya kembali mengutip dari artikel GirlsBeyond dimana dalam hal ini kembali dijelaskan bahwa objektifikasi perempuan juga dapat berkembang menjadi objektifikasi terhadap diri sendiri, sehingga perempuan lebih mementingkan penampilan fisiknya daripada aspek-aspek lain dalam dirinya, seperti kepribadian, prestasi, bakat, dan sebagainya. Ketidakpuasan terhadap penampilan ini lantas berimplikasi pada obsesi untuk terus mempercantik diri sendiri yang seringkali ditempuh dengan cara-cara yang kurang tepat.

Walaupun dari awal pihak yang terlibat melakukan konfirmasi kepada orang orang yang ada dalam konten itu tetapi bagi saya hal ini sangat berdampak negatif juga bagi mereka, bayangkan foto atau konten yang menjadi tontonan publik tersebut membuat diri kita dipresentasikan dalam gambaran yang sempurna, seksi, atau menarik secara visual yang sangat rentan menimbulkan gerak gerak masyarakat patriarki yang selalu berekspektasi melihat perempuan seperti pada standar yang dibangun sehingga ketika di kehidupan nyata selalu ingin memandang perempuan seperti itu pula. Hal ini jika kita dengan sadar melihat konnten tersebut fyp maka yang diuntungkan adalah tentu pemilik akunnya tapi apakah kita rela selalu dijadikan harapan besar untuk terlihat sempurna dalam aspek kecantikan yang dibangun berdasarakan standar yang ketika tidak sejalan dengan realitas yang disajikan media langsung mendapatkan penghakiman, maki makian, ditambah lagi dikira penipu karena dianggap tidak sesuai dengan foto atau konten yang dilihat. Ironis bukan!!!

Ketika secara terang terangan kita mendukung adanya fenomena seperti itu atau bahkan terus masif mengonsumsinya maka bersiaplah hakikat kita sebagai manusia merdeka yang bebas merepresentasikan diri jauh dalam diri kita karena semua yang ada didalamnya akan mengikut pada konsep yang dibangun oleh publik. kita harus melihat bagaimna fenomena ini bukan sekadar hiburan yang viral di kalangan mahasiswa, melainkan cermin bagaimana ruang akademik pun kini ikut dikuasai logika patriarki di mana tubuh perempuan lebih dihargai ketimbang pikirannya.

Seharusnya ketika mengarah pada perguruan tinggi, yang lebih layak disorot adalah sisi positifnya contoh prestasi, bakat atau potensi yang melahirkan sesuatu yang lebih baik karena bukankah sejatinya, kecantikan tidak seharusnya menjadi alat ukur nilai perempuan dan cantik tidak eksklusif bagi beberapa orang saja tapi cantik akan lebih paripurna jika ia tumbuh  bersama gagasan, karya dan manfaat bagi sesama.

Oleh : Marimbi Putri Arisya

(Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Muslim Indonesia)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *