Perkawinan anak menjadi permasalahan penting di semua desa, karena mengawinkan anak dianggap sebagai sesuatu yang biasa dan telah berlangsung lama. Anak perempuan yang tinggal di perdesaan dua kali lebih mungkin menikah sebelum berusia 18 tahun dibandingkan dengan anak perempuan di daerah perkotaan.
Dampak perkawinan anak tidak hanya dialami anak dan perempuan yang menjalaninya, tetapi juga generasi masa depan yang lahir dari perempuan-perempuan yang dikawinkan pada usia anak. Anak-anak yang lahir dari perempuan-perempuan yang berusia anak dikhawatirkan mengalami kurang gizi, gizi buruk, dan tengkis (stunting), di samping rentan mengalami kekerasan dari ibunya yang masih terlalu muda. Pada tahap berikutnya, anak-anak juga mudah dieksploitasi secara ekonomis dan seksual oleh orang tuanya sendiri.
Untuk memperkuat upaya pencegahan dan penanganan perkawinan anak di tingkat desa, YASMIB Sulawesi dan UNCIEF melalui Program BERANI II melaksanakan kegiatan “Pengembangan Deklarasi dan Kebijakan Publik (Perdes) di desa-desa terpilih di Kabupaten Wajo dan Kabupaten Bone, hal ini untuk melindungi anak-anak dari kekerasan dan praktik-praktik berbahaya khususnya Pernikahan Anak”.
Spesialis Perlindungan Anak UNICEF, Tria Amelia Tristiana, mengungkapkan bahwa anak yang hamil berdasarkan data dari Puskesmas dan Dinas Kesehatan Kabupaten Wajo tahun 2024 ditemukan sebanyak 230 anak, sedangkan ada 10 anak yang melakukan dispensasi kawin.
“Salah satu kerugian yang dialami orang yang melakukan perkawinan siri adalah anak yang tidak mendapatkan hak waris dan tidak ada harta gono gini,” ucapnya saat memberikan sambutan di kantor Desa Lompoloang, Kabupaten Wajo. Kamis, 22 Mei 2025.
Selain itu, Pencegahan perkawinan anak di desa harus dilakukan secara terencana dan melibatkan berbagai pihak mengingat jumlah perkawinan pada usia Anak menunjukkan angka yang cukup tinggi dan dapat menimbulkan dampak negatif bagi tumbuh kembang Anak.
Kapala Bagian (Kabag) Hukum Kabupaten Wajo, Andi Elvira Fajarwati, menjelaskan perkawinan anak perlu ditekan mengingat banyaknya kasus perkawinan anak, sehingga perlu adanya kolaborasi semua pihak dan membuat Peraturan Desa (Perdes) di setiap desa di Kabupaten Wajo.
“Dalam menyusun Perdes diharapkan pemerintah desa mengetahui cara menyusunnya khususnya mengetahui regulasi perundang-undangan yang dimana tertuang dalam UU No 12 Tahun 2021 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan,” tambahnya.
Dilain sisi, Direktur Eksekutif YASMIB Sulawesi, Rosniaty Penguriseng, berharap perkawinan anak tidak terjadi lagi di Kabupaten Wajo, Kabupaten Bone dan khususnya di Indonesia.
“Kenapa perkawinan anak ini kita harapkan tidak terjadi, karena ini terkait masa depan anak nantinya, karena ini akan mengakibatkan anak putus sekolah, dan anak akan sulit mendapatkan pekerjaan,” ungkapnya.
Kegiatan yang dilaksanakan mulai dari tanggal 22 sampai 26 Mei 2025 di 4 Desa (Desa Lompoloang, Tempe, Limporilau, dan Pakanna) Kabupaten Wajo dan 6 Desa (Desa Welado, Ajjalireng, Cumpiga, Mallari, Abbumpungeng dan Mallimongeng) di Kabupaten Bone, bertujuan untuk Mendorong adanya komitmen Pemerintah Desa/Kelurahan dalam mencegah terjadinya perkawinan anak melalui Peraturan Desa/Kelurahan tentang Pencegahan Perkawinan Anak dan penguatan kelembagaan.