IKOLOM.NEWS, INTERNASIONAL – Sejumlah negara di Eropa kini tengah memperkuat kesiapsiagaan warganya dalam menghadapi potensi konflik bersenjata.
Pemerintah mendorong masyarakat untuk membangun ketahanan psikologis, menyimpan logistik penting, hingga mengikuti simulasi evakuasi massal sebagai bagian dari persiapan menghadapi kemungkinan perang.
BACA JUGA:
Momen Langka, Wali Kota Makassar Turun Langsung Atasi Kemacetan
Dilansir dari CNN.com, Sabtu (12/4/2025), langkah ini mencerminkan kekhawatiran yang semakin meningkat di kalangan para pemimpin Eropa terhadap potensi ekspansi militer Rusia, serta ketidakpastian dukungan keamanan dari Amerika Serikat yang selama ini menjadi pilar pertahanan NATO.
Sekretaris Jenderal NATO, Mark Rutte, dalam forum keamanan di Brussel, Desember lalu menegaskan bahwa saat ini adalah waktu yang tepat bagi negara-negara Eropa untuk “beralih ke pola pikir masa perang.”
Panduan Kesiapsiagaan dan Logistik Darurat
Sebagai respons konkret, Komisi Eropa pada Maret lalu mengeluarkan panduan kepada seluruh warga untuk menyimpan persediaan makanan, air, dan kebutuhan pokok selama minimal 72 jam.
Panduan ini juga menekankan pentingnya membangun budaya kesiapsiagaan serta ketahanan masyarakat dalam menghadapi berbagai bentuk krisis.
Negara-negara anggota telah menyesuaikan kebijakan nasionalnya.
Jerman, misalnya, memperbarui Framework Directive for Overall Defense yang mengatur skenario pertahanan menyeluruh, termasuk perubahan gaya hidup warga sipil jika terjadi perang.
Sementara Swedia mendistribusikan kembali buku panduan Jika Krisis atau Perang Datang kepada jutaan rumah tangga. Buku ini memuat instruksi rinci mulai dari cara menghadapi serangan udara, evakuasi, hingga perlindungan dari serangan nuklir.
Finlandia Siaga Sejak Lama
Finlandia menjadi salah satu negara yang paling siap, mengingat posisinya yang berbatasan langsung dengan Rusia sepanjang 1.340 kilometer. Sejak tahun 1950-an, negara ini mewajibkan setiap bangunan apartemen dan kantor untuk memiliki tempat perlindungan bom.
Hasil inventarisasi terbaru menunjukkan bahwa Finlandia memiliki lebih dari 50 ribu bunker yang dapat menampung sekitar 4,8 juta orang dari total populasi 5,6 juta.
Kementerian Dalam Negeri Finlandia juga merilis panduan krisis terbaru pada November lalu. Panduan ini mencakup persiapan menghadapi gangguan listrik, pemutusan komunikasi, bencana iklim ekstrem, hingga konflik militer.
Antisipasi Agresi Hibrida
Meski demikian, efektivitas dari berbagai program kesiapsiagaan ini masih dipertanyakan. Wakil Presiden German Marshall Fund untuk Keamanan Transatlantik, Claudia Major, menekankan bahwa masyarakat harus menyikapi imbauan pemerintah secara serius, bukan dengan kepanikan, melainkan kewaspadaan.
Menurut Major, ancaman dari Rusia tidak selalu hadir dalam bentuk invasi langsung, tetapi juga dalam bentuk “zona abu-abu” seperti perang siber, disinformasi, dan bentuk agresi hibrida lainnya.
“Finlandia belajar dari sejarah mereka. Tidak ada yang akan membantu, jadi mereka harus siap sendiri,” ujar Major.
Namun kesadaran ini tidak merata. Negara-negara seperti Portugal, Italia, dan Inggris Raya, menurut Major, memiliki kekhawatiran yang berbeda.
Italia, misalnya, lebih fokus terhadap ancaman terorisme dan ketidakstabilan dari negara-negara di kawasan selatannya.
Dengan ketegangan geopolitik yang terus meningkat, Eropa kini bergerak menuju pola hidup baru: waspada, mandiri, dan siap menghadapi kemungkinan terburuk.