IKOLOM.NEWS, NASIONAL — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mendapat sorotan publik setelah mencuatnya desakan untuk mengusut dugaan penyelundupan 5,3 juta ton bijih nikel ke China yang ditaksir mencapai nilai hingga Rp15 triliun. Kasus ini menyeret sejumlah nama penting, termasuk Wali Kota Medan Bobby Nasution dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menegaskan bahwa proses hukum harus dijalankan terhadap siapa pun yang terlibat dalam kasus ini, tanpa pandang bulu.
“Kalau benar ada dugaan korupsi dalam penyelundupan, maka wajib diproses hingga ke pengadilan. Jangan ada yang kebal hukum,” ujar Fickar, Kamis (29/5).
BACA JUGA:
Putusan MK Wajibkan Sekolah Dasar dan Menengah Gratis, Pemerintah Siapkan Skema Pendanaan Alternatif
Ia juga mengkritik sikap aparat penegak hukum yang dinilai pasif.
“Ada apa dengan para penegak hukum? Mengapa seperti menutup mata, telinga, dan mulut? Ini tidak boleh dibiarkan,” lanjutnya.
Dugaan ekspor ilegal bijih nikel ini pertama kali mencuat lewat pernyataan ekonom senior almarhum Faisal Basri dalam sebuah podcast bersama Guru Gembul. Faisal mengungkapkan bahwa data ekspor bijih nikel dari Indonesia ke China sepanjang 2020–2022 tetap tercatat dalam sistem International Trade Center (ITC) milik PBB, meskipun Indonesia telah resmi melarang ekspor bijih nikel sejak 1 Januari 2020.
Faisal menyebut telah menyerahkan laporan lengkap ke KPK, serta menyampaikan informasi tersebut kepada dua menteri—Luhut Binsar Pandjaitan dan Bahlil Lahadalia. Dalam beberapa pertemuan dengan KPK, Luhut bahkan disebut menyampaikan bahwa nama Bobby dan Airlangga termasuk dalam laporan aduan.
Perbedaan data ekspor antara otoritas China dan Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia mencapai selisih besar. Data bea cukai China menunjukkan ekspor signifikan, sementara BPS mencatat nol karena tidak adanya Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB).
Klaim Berbeda Antara KPK dan Pemerintah
KPK melalui Deputi Pencegahan dan Monitoring, Pahala Nainggolan, menyebut bahwa ekspor tersebut berasal dari PT Sebuku Iron Lateritic Ores (SILO), yang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk bijih besi. Namun, menurut China, kadar nikel dalam ekspor itu melebihi 0,5 persen, sehingga dikategorikan sebagai nikel.
“China melihat kadar nikel di atas 0,5 persen sebagai nikel, sedangkan Indonesia tidak, karena perizinannya hanya besi. Di sini terjadi perbedaan klasifikasi,” jelas Pahala.
Namun Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, tidak sependapat. Ia menyebut bahwa praktik tersebut tergolong penggelapan.
“Itu jelas penggelapan. Nilai ekonominya beda, tidak bisa disamakan antara besi dan nikel,” tegas Arifin.
DPR Curiga Ada Perlindungan Kekuasaan
Anggota Komisi VI DPR RI, Deddy Yevri Sitorus, menyatakan kecurigaan bahwa kasus ini dilindungi oleh kekuatan politik tertentu. Ia menduga ada “orang besar” yang turut terlibat, sehingga proses hukum berjalan lambat.
“Wajar kalau kasus ini seperti jalan di tempat. Terlalu banyak kepentingan besar yang bermain. Saya ragu kasus ini bisa benar-benar dibuka secara terang-benderang,” ujarnya.
Ancaman Terhadap Program Hilirisasi
Larangan ekspor bijih nikel diberlakukan sejak 2020 sebagai bagian dari strategi hilirisasi nasional. Namun celah aturan dan lemahnya pengawasan diduga membuka peluang penyelundupan besar-besaran, yang berdampak pada hilangnya nilai tambah bagi ekonomi nasional.
Sementara China justru menikmati keuntungan dari kebocoran ekspor tersebut, di dalam negeri, program hilirisasi justru terganggu akibat lemahnya penegakan hukum dan potensi penyalahgunaan kekuasaan.